Tulisan ini terinspirasi oleh dua orang tamu yang datang silaturahim ke kantor kami, berbicara tentang nasib seorang guru, baik guru yang sudah “aman” maupun guru yang masih “galau”. Mengingat pepatah lama, “tinggalkan zona nyamanmu, niscaya kau dapatkan kemuliaanmu yang baru”, sungguh pepatah itu sarat makna, malah terkadang menjadi salah satu penyebab mbludaknya warga Jakarta. Namun kali ini saya tidak menyinggung hal-hal populasi seperti itu. Pepatah itu lebih tepatnya menjadi kalimat yang tabu bagi para Guru yang sudah “aman”, kemapanan, tunjangan dan rasa aman masa depan menjadikan sebagaian besar guru emoh mengembangkan dirinya, lalu bagaimana dengan Guru yang masih “galau”? apakah mereka masih terus menggalau? Sampai kapan mereka akan berhenti menggalau?.
Tamu kami kali ini datang jauh-jauh dari Balikpapan, mensinergikan visi dan misi, tertarik dengan profil-profil Mahasiswa kami. Berharap satu, dua ataupun tiga Mahasiswa untuk gabung di sekolahnya. Untuk apa jauh-jauh sebrangi lautan hanya untuk mendapatkan satu atau dua guru untuk sekolahnya. Kalimantan sangatlah luas, Pula Jawa hanya seperdelapannya, untuk mencari seorang Guru, sampai rela ke Pulau Jawa. Kalau kita menelisik lebih dalam, ada apakah gerangan? Apakah stok Guru di Kalimantan sudah habis, ataukah sentralisasi “Jawa” sudah sedemikian kuatnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja terngiang-ngiang.
“kami hanya butuh seorang guru, bukan tukang durian” kalimat itu yang membuat siapapun yang mendengarnya akan tersinggung, nada sinis begitu saja keluar, namun kalimat itu sarat makna, menjadi seorang guru, tidak seperti seorang penjual durian. Menjadi guru dituntut untuk tidak berorientasi pada material, menjadi guru dituntut berpikir fokus kepada siswanya, buka pada honor yang didapatkan tiap bulannya, menjadi guru harus paham posisinya di masyarakat, menjadi teladan yang tidak berorientasi pada kemewahan. Namun siapa yang akan menanggung kesejahteraannya? Pemerintah berusaha menjawabnya dengan sistem sertifikasi guru. Sekali lagi kita melihat, benarkah dengan adanya sertifikasi membuat benar-benar menjadi seorang guru. Akankah sertifikasi manjadi ajang kesejahteraan, profesional atau hanya sebagai tuntutan.
Terlepas dari apapun yang dilakukan pemerintah, fungsi guru begitu kompleks; hanya seorang serba bisa dan multitasking yang bisa menjai guru. Guru adalah pakar psikologi; dimana dia dituntut memahami psikologis siswa didiknya, bahkan harus berurusan dengan psikologi orangtuanya. Guru adalah administrator yang hebat; dimana dia dituntut mebuat segala administrasi yang bahkan mungkin tidak dipelajari di jurusa administrasi. Guru adalah manager yang mumpuni; dia dituntut memanage kelas dengan baik, dengan segala siswa yang heterogen. Guru adalah organisator profesional; dimana dia dituntut untuk membuat perencanaan, organisasi kegiatan pembelajaran, hingga monitoring dan evaluasi. Guru adalah artis yang dielu-elukan; dimana dia dituntut berperan saat pembelajaran agar siswanya mengerti. Guru adalah arsitektur yang kokoh; dimana dia dituntut mendesain pembelajaran hingga membangun karakter siswanya. Guru adalah orangtua non-biologis; dimana tanggungjawab mungkin saja lebih besar dari tanggungjawab orangtua kandung siswa diluar nafkah yang diberikan orangtua. Lalu berapa rupiahkah yang harus kita bayar dengan segala profesi yang melekat pada seorang guru? “Rasa-rasanya, seratus jutapun tidak cukup untuk membayarnya” begitu kata tamu kami sebelum meninggalkan ruang kelas.
No comments:
Post a Comment