Enam Bulan Aku Mengeja

Jeritan kakakku makin menjadi-jadi saat pak ustad Mu’min melafadzkan beberapa ayat suci al-Quran di ruang tengah rumahku. Ibuku tampak begitu kerepotan memegangi kepala dan badannya, sementara ayahku dengan sekuat tenaga menahan kakinya yang terus menerus berontak, tak mau berhenti menendang-nendang.
“hei, kamu, mau kamu dilaknat Allah? Hah…?” ustadz Mu’min mencoba menggertak dengan nada keras dan tegas.
“diam kamu! aggghhh….Aggghhh… agghhh!”
“kalau gitu saya bakar kamu ya?!”
Aku begitu panik kala itu, ku coba untuk membantu memegangi kaki dan tangannya, sambil membacakan ayat kursi yang kuhafal sebisanya. Sungguh, kejadian itu benar-benar membuatku gemetar. Aku masih tidak percaya, kejadian itu bisa terjadi di rumahku. Bibirku pun tak henti-hentinya membaca ayat kursi dan berdzikir sambil terus menahan tangannya agar tidak membahayakan yang lain.
Ia mengerang kesakitan, lalu mengejang-ngejang layaknya orang yang terkena penyakit ayan, aku dan kedua orang tua ku pun dengan sekuat tenaga menahan anggota tubuhnya, agar terkendali dan tidak membahayakan ustadz Mu’min. Kepanikanku makin menjadi saat tubuhnya kian kuat memberontak, tenaganya kuat sekali, seperti laki-laki. Tanpa sengaja tangannya yang ku pegang terlepas dan mengenai wajahku, dengan sigap kuraih kembali tangannya dan kucengkram dengan amat kuat. Setelah lima menit berselang, tiba-tiba saja kakakku terkulai lemas dan tertidur. Beberapa saat kemudian ia menangis, dan seolah memaksa sesuatu yang berada di dalam dirinya untuk segera keluar. Ya, kakaku, sudah dua hari lalu kerasukan jin.
“keluar kamu…keluar…! Aku capek!, keluar !”


Beberapa orang tetangga rumah kemudian berdatangan, sambil membawa Al-Qur’an. Salah seorang tetangga yang datang memintaku untuk beristirahat dan segera mengambil Al-Qur’an, sementara ia menggantikanku memegangi tangan kakakku agar tidak berontak. Ustadz Mu’min meminta semua yang ada di ruangan untuk membacakan surat Yasin, setelah ia melakukan jurus pamungkas yang membuat jin dalam tubuh kakakku itu keluar. Kakakku pun mulai agak tenang dan tampak lemas tertidur. Aku kembali duduk berkumpul bersama tetangga yang datang sambil membawa Al-Qur’an, dan segera mengikuti apa yang diperintahkan Ustadz Mu’min.
Lafadz Ta’awudz mulai dibacakan, sementara aku masih saja sibuk mencari dimana letak surat yasin itu. Dua ayat pertama bisa aku baca bersama dengan yang lain, tapi lama-lama bacaanku jadi terbata-bata dan kalah cepat dengan yang lainnya. Rasa malu sedikit menyelimutiku, aku pun kemudian hanya bergumam saja. Kulihat tulisan ayat demi ayat, semakin kulihat kepalaku makin pusing karena aku merasa kesulitan membacanya.
Setelah kejadian itu aku masuk ke kamarku. Rasa sesal tiba-tiba datang, dan memaksa aku merenung. Kenapa dulu tidak serius belajar membaca Al-Qur’an, sekarang ketika kemampuan membaca Al-Qur’an dibutuhkan aku tidak mampu melakukannya dengan baik. Ketika aku mengikuti pelajaran agama disekolah, aku selalu merasa was-was, ketika guru agamaku membahas tentang tadabur ayat Al-Qur’an. Aku selalu berharap dan berdoa, agar guruku tak memintaku membaca ayat yang dibahas, sungguh doa yang aneh kan?. Ketika SMP, aku masih belum tergerak untuk belajar membaca Al-Qur’an lebih baik, mungkin karena pelajaran Agama hanya ada satu kali dalam satu minggu. Belajar Agama belum menjadi prioritas apalagi membaca AL-Qur’an, aku hanya asyik memperdalam pelajaran yang lebih menantang logika, seperti Matematika dan Fisika.
Sampai aku menginjak bangku di SMA, kondisi itu tidak jauh berubah. Pernah ketika guru agama menjelaskan materi tentang hikmah ayat dalam Al-Quran, guru agamaku meminta agar di pertemuan minggu depan, setiap siswa maju kedepan kelas dan membacakan ayat yang sudah ditentukan. Sontak aku kaget dan gelisah dengan tugas ini, terang saja, karena kemampuan ku membaca Al-Quran masih sangat terbatas. Aku pun membuat rencana untuk mengatasi masalah ini, dalam satu minggu aku harus menghafal ayat itu, agar tidak ada yang tahu bahwa aku belum bisa membaca AL-Qur’an dengan lancar.
Strategi yang ku buat, kulakukan dua hari kemudian. Tidak tanggung-tanggung, panjang ayatnya hampir setengah halaman Al-Qur’an, meskipun hanya dua ayat. Bagiku itu sangat berat karena lafadznya masih belum familiar di telingaku. Karena pusing membaca ayat Al-Qur’an secara langsung, akupun menulis bacaan ayat itu dengan tulisan latin, lalu kuhafalkan. Selama lima hari dan khususnya di hari libur, aku memfokuskan diri untuk menghafal. Jam pelajaran agama pun tiba, saat guru masuk kedalam kelas, dadaku seolah-olah ditendang-tendang dari dalam. Aku menunggu giliran dengan perasaan gelisah, dan celakanya lagi penunjukan untuk membaca ayat dilakukan berdasarkan absen. Terpaksa aku harus maju paling awal karena absensiku berada di urutan pertama. Akhirnya ketegangan itu pun berakhir, dengan cukup lancar aku membaca ayat yang dimaksud walau agak tersendat ditengah bacaan.
Ternyata bersantai-santai dari upaya perbaikan itu berbuah bencana dan masalah. Diakhir masa kelas 3 SMA, semua siswa harus mengikuti ujian praktek, dan salah satunya adalah praktek agama. Kecemasan semakin menjadi-jadi karena ada tes hafalan dan membaca AL-Qur’an. Aku tidak mungkin menerapkan strategi yang sama seperti pelajaran di kelas, karena ayat yang akan dibaca dipilih secara acak, sangat tidak mungkin aku mengatasinya dengan menghafal seluruh ayat yang ada dalam kitab agamaku itu. Untuk menenangkan diri, aku mencoba mencari info dari teman-teman yang sudah melakukan praktek agama. Ternyata yang terjadi malah sebaliknya, rasa cemas semakin mengancamku, aku mendapat kabar yang lebih menakutkan, ujian membaca AL-Qur’an tidak hanya sekedar membaca, tapi juga menyebutkan hukum-hukum bacaan yang ada di ayat yang dibaca. Beban stressku bertambah lagi, karena tahu bahwa ada temanku yang dikenal agak “bandel”, mampu membaca AL-Qur’an dengan baik, sementara aku siswa yang “normal” saja tidak mampu melakukannya.
“Ya Allah, bagaimana ini, aku minta tolong…” kalau sedang teringat akan datangnya hari ujian itu aku selalu diliputi cemas yang semakin menjadi. Aku pun hanya bisa berdoa minta tolong kepada Allah, karena masih malu untuk berterus terang pada teman-teman yang lain bahwa aku tidak bisa membaca AL-Qur’an dengan lancar. Saat menjelang hari ujian, belum ada solusi apapun yang bisa membantuku.
Hari ujian itu tiba, praktek sholat mayit, whudu, hafalan dzikir sudah aku kuasai dengan baik, tapi tidak untuk ujian yang paling berat ini, membaca Al-Qur’an. Aku duduk di hadapan guru agama, dengan santun tapi berbalut cemas dan tegang. Kitab yang harus aku baca itu diletakan diatas meja antara aku dan guruku. Al-Qur’an seakan-akan begitu menakutkan dalam pandangan mataku. Perintah membaca pun diucapkan tanpa basa-basi. Dengan terbata-bata aku membacanya, tampak wajah kecewa dan kesal tergambar diwajah guruku, akhirnya ia pun memintaku berhenti. Mungkin karena ia sudah tahu kemampuan membacaku yang benar-benar payah. Lebih parah lagi ketika diminta menyebutkan hukum bacaan, aku benar-benar pasrah tidak tahu sama sekali, sedikitpun aku tidak paham tentang itu. Bisa dibayangkan kan betapa “hebatnya” aku.
Akhirnya aku kuliah, dan entah kenapa kini aku menjadi sedikit lebih religius. Semangat beribadahku lebih baik, dan hampir setiap sholat aku sering melakukannya secara berjamaah. Lembaran baru di dunia kampus pun membangkitkan semangatku untuk menata diri dan waktu. Kutuliskan agenda harianku dan jadwal kegiatan sehari-hari di selembar kertas, lalu ku pajang di pintu lemari. Temanku yang membacanya sedikit mengkritisi.
“kok nggak ada jadwal membaca Al-Qur’annya ya?”
Aku tidak menanggapinya, dan segera mengalihkan pembicaraan, rasa malu langsung meradang dan menciutkan semangatku. Stresku pun kembali, karena ada kegiatan mentoring wajib sebagai bagian dari kegiatan praktikum pelajaran agama. Kali ini aku bertekad, bahwa aku harus bisa membaca Al-Qur’an. Beberapa kali aku mencoba membaca mandiri di kamar saat teman-teman sekamarku di asrama kampus tidak ada di kamar. Aku malu, aku tak mau mereka tahu, bahwa aku masih belum lancar membaca. Dengan kemampuan seadanya, aku mempraktekan hasil usahaku di saat praktikum agama. Aku mengeja huruf per huruf hijaiyah itu dengan perlahan dan hati-hati. Dengan sangat bersusah payah, aku menghabiskan setengah halaman  Al-Qur’an.
Selepas kegiatan mentoring, dengan bijak seorang teman membujuku untuk ikut kegiatan tahsin di masjid kampus. Dengan senang hati, aku mengikuti tawarannya, dan mendaftar untuk tes kelas tahsin. Sungguh bagiku itu sebuah kesempatan untuk memperbaiki kekurangan yang aku miliki. Disisi lain aku merasa bersalah, kebiasaan ibadah harian yang mulai kubangun tidak dilengkapi dengan kemampuan membaca Al-Qur’an yang baik. Bahkan, teman-temanku yang ibadahnya biasa saja memiliki kemampuan membaca yang lebih baik dan tahu hukum-hukum bacaannya. Rasa bersalah pun tak terbendung  karena Al-Qur’an adalah kitab agama islam, agamaku sendiri, dan aku yang mengaku islam tidak mampu membaca AL-Qur’an dengan baik.
Motivasi itu semakin menguatkanku untuk belajar, selama satu semester aku mengikuti program tahsin. Di kelas tahsin itu diajarkan bahwa, jika ingin membaca dengan lancar, maka sering-seringlah membaca, dan jika ingin benar cara membacanya, maka sering-seringlah mendengarkan murotal Al-Qur’an. Aku mencoba mengerjakan semua tips itu, enam bulan menjadi perjuangan yang sangat berat. Setiap kebaikan, selalu diikuti dengan sepaket godaan, kadang rasa malas menghantui,  kesibukan aktivitas kuliah pun dijadikan pembenaran untuk tidak belajar, ditambah lagi dengan keinginan mendahulukan aktivitas yang lain yang lebih menarik. Tapi entah energi dari mana yang memberiku kekuatan untuk melakukannya. Sebuah nasihat pun tertangkap oleh telingaku, nasihat bahwa jika Allah menghendaki kebaikan ada pada diri kita, maka Allah akan memahamkan kita terhadap sebuah ilmu. Hal itu membuatku semakin bersyukur dan yakin bahwa energi yang kudapatkan selama ini bersumber dari pemilik energi itu, ya Allah SWT. Semakin hari, aku menjadi semakin religius, sering mengikuti kajian keislaman, dan akhirnya aktif di organisasi dakwah kampus.
Motivasi belajar tahsin ku semakin benggebu, karena keaktivanku di dunia dakwah kampus akan menjadi cacat jika aku tidak punya kemampuan membaca Al-Qur’an dengan baik dan lancar. kini, semua yang kuusahakan berbuah hasil, aku semakin lancar membaca, dan bacaanku pun benar, walaupun aku masih belum hafal nama-nama yang ada dalam hukum tajwid. Karena yang menjadi prioritas untuk dikuasai adalah kemampuan untuk membaca ayat dengan lancar dan benar. Selain itu hafalan suratku pun kini makin bertambah. Terima kasih ku ya Allah, atas kesempatan yang Engkau berikan.

No comments:

Post a Comment