Visi tanpa tindakan adalah mimpi. Tindakan tanpa visi hanyalah rutinitas. Maka visi dan tindakan meniscayakan yang mustahil. Hal ini mestinya jadi renungan. Sebab, apakah Indonesia punya visi untuk melahirkan guru hebat?
Orang bilang visi adalah cita-cita. Sesungguhnya bicara visi tak sesederhana itu. Visi merupakan formulasi dari upaya meredam keragaman kepentingan dalam menggaet ketidakjelasan masa depan.
Bicara guru maka kita sedang bicara masa depan. Dan guru Indonesia belum punya kejelasan masa depan karena selalu jadi komoditas para pemangku kepentingan yang beragam di gelanggang politik. Guru-guru Indonesia lebih sering diperdaya ketimbang diberdayakan. Lebih sering dimanipulasi dan diintimidasi. Tak jarang pula hak-haknya dikorupsi tanpa tedeng aling-aling.
Pasca Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dibubarkan, adakah hari ini lembaga penghasil guru yang visioner? Jika sekadar meluluskan mahasiswanya setiap tahun, dimana letak visionernya? Hari ini, kuantitas Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) meruyak. Ada 415 institusi LPTK terdiri dari 12 eks IKIP, 24 FKIP universitas negeri, satu FKIP universitas terbuka, dan 378 LPTK swasta, dengan total mahasiswa mencapai 1,3 juta orang.
Yang mengerikan, saat ini tak seorang pun mampu menghitung akurat LPTK abal-abal yang kerap bermunculan. Setidaknya ada dua penyebab. Pertama, bak mengasong rokok, maka LPTK leluasa berdiri. Kedua, mudah berdiri. Artinya identik juga dengan mudah redup.
Tak heran jika kemudian banyak LPTK yang cuma papan nama, begitu berdiri langsung ambruk. Maka di mana saja dan kapan saja, siapa saja bisa menemui sejumlah pemain baru di dunia LPTK. Karena sekadar latah, substansi LPTK jadi bias.
Tak ada LPTK handal, mimpi kali yee ingin punya guru-guru hebat. Karena melatih puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan guru Indonesia itu baru satu hal. Tapi melahirkan LPTK visioner, itulah karya sesungguhnya.
Karena dengan LPTK, kita punya kesempatan terbaik untuk merancang lahirnya figur-figur guru hebat dari anak-anak muda terbaik bangsa. Jika hari ini LPTK kepayahan merekrut pemuda terbaik bangsa, tanya mengapa?
Ketika LPTK ‘dilemahkan’ kapasitas kelembagaannya, antara ada dan tiada, sudah bisa dipastikan kita telah keliru memilih para ‘pemimpin guru’. Siapa mereka? Bisa RI 1, Mendikbud, Menteri Agama, anggota DPR, dan para kepala daerah. Bukankah mereka para pemimpin dari para guru Indonesia?
Pemimpin guru bisa bermakna pemimpin dengan sifat-sifat keguruan. Berbahagialah kita memiliki pemimpin guru seperti ini. Bukan berarti pemimpin kita harus dari jebolan LPTK, mantan rektor LPTK, atau pernah menjadi guru. Tapi mereka yang menjadikan kebaikan dan kebenaran menjadi panduan dalam memutuskan kebijakan soal tata kelola guru Indonesia, dari hulu sampai hilir.
Merekalah pemimpin yang paham bagaimana merancang masa depan bangsa dengan menjadikan gagasan ‘guru sebagai ideologi kebangsaan’. Mengubah paradigma working for a living to working for a life. Menjadi guru karena panggilan jiwa bukan panggilan materi. Maka, hak dasar hidup guru (pangan, sandang, dan papan) wajib dicukupkan, lalu mereka diberi ruang untuk maju dan tumbuh berkembang. Bukan diberi uang recehan yang terbukti menghancurkan karakter dan kewibawaan guru di mata publik.
Tengok kebijakan sertifikasi guru, anomali sekali. Alih-alih meningkatkan citra profesi guru, yang memilukan, banyak oknum guru menggadaikan kejujuran mereka demi selembar sertifikat guru. Karakter guru remuk redam, dan ternyata tak ada perbedaan signifikan antara guru yang sudah bersertifikasi dan guru tak bersertifikasi terhadap kualitas pembelajaran siswa. Coba renungkan, ini ulah siapa?
Janji-janji pemimpin guru yang rusak untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru hanya omong kosong. Ocehan basa-basi karena tak bernalar, tak didukung data riset, dan tak dipandu nurani saat mengambil kebijakan. Ciri kebijakan dari pemimpin guru yang rusak pasti tak esensial (tak menyelesaikan inti persoalan guru), tak sistematis, tak terintegrasi, tak aplikatif, dan tak pernah berkelanjutan. Hanya proyek dan proyek yang ada di isi kepala mereka.
Mari cermati perilaku pemimpin guru kita. Menurut data litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari 284 kasus penyidikan tindak pidana korupsi periode 2004 – 2012 yang ditangani KPK RI, 46 kasus melibatkan anggota DPD dan DPRD, 6 kasus melibatkan kepala lembaga/kementerian, 8 kasus melibatkan gubernur, dan 29 kasus melibatkan walikota/bupati dan wakilnya.
Tegasnya, para pemimpin guru kita masih banyak yang belum selesai dengan urusan dirinya sendiri. Kebijakan seperti apa yang bisa diharap para guru dari pemimpin macam ini?
Pemimpin guru yang rusak tak pernah paham kemana arah pendidikan Indonesia ini bergerak. Naasnya, guru hanya dianggap sebagai penggembira ketimbang jadi aktor utama. Capek deh.
Orang bilang visi adalah cita-cita. Sesungguhnya bicara visi tak sesederhana itu. Visi merupakan formulasi dari upaya meredam keragaman kepentingan dalam menggaet ketidakjelasan masa depan.
Bicara guru maka kita sedang bicara masa depan. Dan guru Indonesia belum punya kejelasan masa depan karena selalu jadi komoditas para pemangku kepentingan yang beragam di gelanggang politik. Guru-guru Indonesia lebih sering diperdaya ketimbang diberdayakan. Lebih sering dimanipulasi dan diintimidasi. Tak jarang pula hak-haknya dikorupsi tanpa tedeng aling-aling.
Pasca Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dibubarkan, adakah hari ini lembaga penghasil guru yang visioner? Jika sekadar meluluskan mahasiswanya setiap tahun, dimana letak visionernya? Hari ini, kuantitas Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) meruyak. Ada 415 institusi LPTK terdiri dari 12 eks IKIP, 24 FKIP universitas negeri, satu FKIP universitas terbuka, dan 378 LPTK swasta, dengan total mahasiswa mencapai 1,3 juta orang.
Yang mengerikan, saat ini tak seorang pun mampu menghitung akurat LPTK abal-abal yang kerap bermunculan. Setidaknya ada dua penyebab. Pertama, bak mengasong rokok, maka LPTK leluasa berdiri. Kedua, mudah berdiri. Artinya identik juga dengan mudah redup.
Tak heran jika kemudian banyak LPTK yang cuma papan nama, begitu berdiri langsung ambruk. Maka di mana saja dan kapan saja, siapa saja bisa menemui sejumlah pemain baru di dunia LPTK. Karena sekadar latah, substansi LPTK jadi bias.
Tak ada LPTK handal, mimpi kali yee ingin punya guru-guru hebat. Karena melatih puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan guru Indonesia itu baru satu hal. Tapi melahirkan LPTK visioner, itulah karya sesungguhnya.
Karena dengan LPTK, kita punya kesempatan terbaik untuk merancang lahirnya figur-figur guru hebat dari anak-anak muda terbaik bangsa. Jika hari ini LPTK kepayahan merekrut pemuda terbaik bangsa, tanya mengapa?
Ketika LPTK ‘dilemahkan’ kapasitas kelembagaannya, antara ada dan tiada, sudah bisa dipastikan kita telah keliru memilih para ‘pemimpin guru’. Siapa mereka? Bisa RI 1, Mendikbud, Menteri Agama, anggota DPR, dan para kepala daerah. Bukankah mereka para pemimpin dari para guru Indonesia?
Pemimpin guru bisa bermakna pemimpin dengan sifat-sifat keguruan. Berbahagialah kita memiliki pemimpin guru seperti ini. Bukan berarti pemimpin kita harus dari jebolan LPTK, mantan rektor LPTK, atau pernah menjadi guru. Tapi mereka yang menjadikan kebaikan dan kebenaran menjadi panduan dalam memutuskan kebijakan soal tata kelola guru Indonesia, dari hulu sampai hilir.
Merekalah pemimpin yang paham bagaimana merancang masa depan bangsa dengan menjadikan gagasan ‘guru sebagai ideologi kebangsaan’. Mengubah paradigma working for a living to working for a life. Menjadi guru karena panggilan jiwa bukan panggilan materi. Maka, hak dasar hidup guru (pangan, sandang, dan papan) wajib dicukupkan, lalu mereka diberi ruang untuk maju dan tumbuh berkembang. Bukan diberi uang recehan yang terbukti menghancurkan karakter dan kewibawaan guru di mata publik.
Tengok kebijakan sertifikasi guru, anomali sekali. Alih-alih meningkatkan citra profesi guru, yang memilukan, banyak oknum guru menggadaikan kejujuran mereka demi selembar sertifikat guru. Karakter guru remuk redam, dan ternyata tak ada perbedaan signifikan antara guru yang sudah bersertifikasi dan guru tak bersertifikasi terhadap kualitas pembelajaran siswa. Coba renungkan, ini ulah siapa?
Janji-janji pemimpin guru yang rusak untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru hanya omong kosong. Ocehan basa-basi karena tak bernalar, tak didukung data riset, dan tak dipandu nurani saat mengambil kebijakan. Ciri kebijakan dari pemimpin guru yang rusak pasti tak esensial (tak menyelesaikan inti persoalan guru), tak sistematis, tak terintegrasi, tak aplikatif, dan tak pernah berkelanjutan. Hanya proyek dan proyek yang ada di isi kepala mereka.
Mari cermati perilaku pemimpin guru kita. Menurut data litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari 284 kasus penyidikan tindak pidana korupsi periode 2004 – 2012 yang ditangani KPK RI, 46 kasus melibatkan anggota DPD dan DPRD, 6 kasus melibatkan kepala lembaga/kementerian, 8 kasus melibatkan gubernur, dan 29 kasus melibatkan walikota/bupati dan wakilnya.
Tegasnya, para pemimpin guru kita masih banyak yang belum selesai dengan urusan dirinya sendiri. Kebijakan seperti apa yang bisa diharap para guru dari pemimpin macam ini?
Pemimpin guru yang rusak tak pernah paham kemana arah pendidikan Indonesia ini bergerak. Naasnya, guru hanya dianggap sebagai penggembira ketimbang jadi aktor utama. Capek deh.
No comments:
Post a Comment