Rumus Belajar Ala Einstein


Einstein itu stylish. Selain punya gaya rambut yang nyentrik, Einstein pun punya rumus belajar yang unik. Teorinya tentang konsepsi belajar sangat filosofis, namun bersahaja di tataran praktik. ‘Belajar = Bermain = Belajar’ dan ‘Menghapal Bukan Belajar dan Belajar Bukan Menghapal’. Belajar yang tak bertujuan, bisa jadi itu main-main saja. 

Semua proses yang terjadi tak punya makna. Dalam konteks pembelajaran, guru mesti pahami rumus belajar Einstein. Tak usah paksakan anak untuk menghapal karena itu bukan belajar. Jangan pula punya pandangan kuno bahwa belajar itu tak boleh sambil bermain. Justru bermain yang bertujuan, itulah cara terbaik untuk membelajarkan anak.

Kita punya hak untuk menyatakan setuju atau tak setuju dengan gagasan Einstein soal rumus belajar. Tapi coba cermati apa yang bisa kita pelajari dari cara Einstein mengajari anak-anaknya. Einstein memilih cara untuk membimbing anaknya belajar lewat permainan, seperti melempar batu ke air, bermain gelembung sabun, membuat pesawat dari kertas, memutar gasing, dan banyak permainan lainnya. 

Saat bermain, Einstein gemar bertanya pada anak-anaknya mengapa ini bisa terjadi, mengapa itu bisa gagal, bagaimana ini bisa bekerja dan bagaimana memperbaiki bagian yang tak bekerja. Pertanyaan favorit Einstein yang sering dilontarkan pada anak-anak, ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’.

Anak-anak selalu bersemangat menjawab pertanyaan Einstein. Bahkan berani mendebat Einstein dengan sejumlah argumentasinya. Einstein pun sangat senang didebat oleh anaknya. Debat itu mengantarkan anak untuk belajar berpikir, menerima pandangan yang berbeda, dan melatih kepercayaan diri anak untuk tak takut mengungkap ide pikirannya. 

Einstein mengajari anaknya tentang hukum kecepatan, percepatan, hukum gaya berat, dan hukum-hukum fisika lainnya melalui permainan. Ia tak pernah mengajari anaknya sambil duduk dan serius menulis buku. Dimana saja dan kapan saja, nikmati proses bermain sambil belajar. 

Danau, salah satu tempat paling mengasyikkan bagi Einstein dan anaknya bercengkrama dan melakukan proses belajar. Einstein meyakini bahwa cara tersebut bisa membuat anak sangat mencintai ilmu pengetahuan dan memiliki kesungguhan untuk belajar. 

Mari kita cermati rumus belajar Einstein dalam konteks pembelajaran aktif (active learning). Apakah ‘Bermain = Belajar = Bermain’ merupakan pembelajaran aktif? Bonwell & Eison (1991) menyatakan, “Five characteristics for an active learning are: (1) students are involved in more than listening; (2) less emphasis is placed on transmitting information and more on developing students skills; (3) students are involved in higher-order thinking (analysis, synthesis, evaluation); (4) students are engaged in activities (e.g., reading, discussing, writing); (5) emphasis is placed on students’ exploration of their own attitudes and values”.
Bermain, artinya anak diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bersamaan. Lontaran pertanyaan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ memungkinkan anak melatih keterampilan berpikir tingkat tinggi. Mereka mesti berpikir dan berpikir, never stop thinking. Karena jika malas berpikir, pertanyaan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ takkan tuntas diselesaikan. 

Menariknya, apa yang ada di pikiran anak jauh lebih berharga dan penting daripada apa yang tertulis di buku pelajaran. Jika perlu, hasil temuan dan pemikiran anak yang valid bisa direkomendasikan untuk merevisi isi buku tersebut. Di sisi lain, sikap tak mudah menyerah, percaya diri, bekerja sama, bertanggung jawab, tak takut salah, dan sikap hidup lainnya bisa diasah lewat aktivitas bermain. Keterlibatan dalam pembelajaran, berpikir tingkat tinggi, eksplorasi ranah kognitif-afektif-psikomotorik anak, kunci terjadinya pembelajaran yang bermakna. Lewat bermain, prinsip-prinsip pembelajaran aktif bisa ditemukenali.

Lantas, bagaimana guru harus merancang pembelajaran aktif? L. Dee Fink (1999) menyatakan bahwa dalam penerapan active learning, guru disarankan selalu dapat menghadirkan 2 aktivitas utama berupa dialog dan pengalaman belajar. 

Dialog terbagi menjadi 2 bagian, dialog dengan diri sendiri dan dialog dengan orang lain. Sebagai seorang pembelajar yang berpikir reflektif, siswa harus dilatih untuk dapat menyatakan apa yang mereka pikirkan atau mereka rasakan tentang topik pelajaran yang sedang dipelajari. Seorang guru dapat menyiapkan buku harian atau jurnal pembelajaran bagi siswa, dimana siswa dapat mencurahkan semua gagasan dan perasaan mereka tentang topik pelajaran yang sedang mereka pelajari. Siswa diharapkan secara spesifik dapat mengutarakan apa yang sudah mereka pelajari, bagaimana cara mereka mempelajari topik pelajaran tersebut, dan menyampaikan perasaan apa yang mereka alami ketika mempelajari topik pelajaran tersebut. 

Kemudian, dialog dengan orang lain dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk. Dalam pengajaran konvensional, ketika siswa membaca buku atau mendengarkan penjelasan materi dari guru, pada hakikatnya mereka sedang berdialog dengan sumber belajar (buku dan penjelasan guru). Bentuk lain yang lebih dinamis dapat dikembangkan dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil dan melakukan diskusi di antara sesama anggota kelompok.

Pengalaman belajar merupakan identitas kunci lainnya dari active learning. Pengalaman belajar terbagi menjadi 2 bagian utama, yaitu observasi (observing) dan melakukan sesuatu (doing). Ketika siswa melihat dan mendengarkan sesuatu tentang topik pelajaran tertentu, sejatinya mereka sedang mengamati sesuatu dari apa yang dilihat dan apa yang mereka dengar. Aktivitas observasi sendiri dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. 

Contoh, ketika siswa mempelajari topik kemiskinan, kemudian mereka pergi ke pemukiman kumuh dan menghabiskan waktu bersama mereka untuk mengobservasi kehidupan orang-orang di pemukiman kumuh, maka siswa sudah melakukan kegiatan observasi secara langsung. Bedanya dengan observasi tidak langsung, siswa hanya menonton film atau membaca buku saja, misalnya, tentang fenomena kemiskinan di pemukiman kumuh.

Saya selalu tergoda membayangkan keasyikan Einstein dan anaknya bermain di danau. Ruang imajinasi saya turut disesaki kegembiraan luar biasa. Anak-anak menjadi manusia merdeka yang bebas stres. Semua terbalut dalam satu kata ‘totalitas’. Einstein total mengajar dan anak-anak total belajar, itulah pembelajaran hakiki. Namun, ruang berpikir saya secara kritis menggugat satu hal, “Mengapa masih ada guru yang begitu yakin bahwa belajar itu tak boleh sambil bermain dan penuh keriangan?” 

Mengatakan guru tak pernah alami masa kecil yang riang, jelas itu tak logis. Karena Einstein pun pernah menjadi anak kecil. Yang perlu dikritisi, mengapa masih ada orangtua atau guru yang tega merenggut kesenangan anak untuk bermain dengan dalih agar anak bisa sukses belajar? Please, bermain itu belajar dan belajar itu bermain. Mengapa kita coba pisahkan unsur bermain dalam proses belajar dan pembelajaran? Ingat, bermain dan main-main itu dua hal berbeda. Bermain itu perlu rencana, tujuan, strategi, dan evaluasi. Tapi jika hendak main-main, just do it saja. 

Sebagian besar orang sepakat, Einstein itu orang cerdas. Orang cerdas sekaliber Einstein paham bahwa dialog dan pengalaman belajar, faktor kritis sukses terjadinya pembelajaran. Bermain adalah strategi sekaligus proses belajar itu sendiri. Karena pembelajaran dituntut untuk memenuhi hak-hak belajar anak, maka kita mesti cerdik siasati cara terbaik untuk membelajarkan anak. 

Faktanya, Einstein mengajari anaknya dengan menerapkan rumus ‘Belajar = Bermain = Belajar’. Bukan dengan gaya ilmuwan yang super serius, melahap banyak buku tebal, dan bertapa berlama-lama di laboratorium. Itulah kebesaran jiwa seorang Einstein. Anaknya bukan dirinya atau milik dia seutuhnya. 

Ada cara belajar berbeda yang mesti diterapkan Einstein agar benar-benar sesuai kebutuhan anaknya. Maka, bermainlah. Jika kita mengaku diri sebagai orangtua dan guru, bisakah kita berbesar jiwa layaknya Einstein? Jika tak bisa, maukah kita mulai belajar menguak makna di balik rumus belajar Einstein? Jika tak tergerak untuk mulai belajar, maka itulah contoh terbaik dari orangtua dan guru yang tak usah dicontoh

No comments:

Post a Comment