Fenomena maraknya kemunculan cara-cara cepat untuk menyelesaikan soal-soal matematika menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pendapat yang kontra biasanya dari kalangan pendidik matematika yang memegang teguh akan pentingnya konsep. Mereka menyatakan bahwa sebenarnya cara cepat merupakan pembodohan bagi siswa. Dikatakan pembodohan karena cara cepat menghilangkan konsep-konsep matematika. Padahal konsep-konsep itu diperlukan oleh siswa untuk mempelajari materi matematika di jenjang selanjutnya.
Sedangkan yang pro terhadap cara cepat menyatakan bahwa kebanyakan siswa tidak memahami dengan baik matematika. Begitu banyak rumus yang perlu siswa hapal dan sulitnya bagi mereka memahami langkah-langkah penggunaannya. Kalau dibiarkan maka dapat dipastikan nilai ujian mereka rendah.
Terlepas dari kedua pendapat di atas, kita menyadari bahwa konsep matematika itu penting namun pembelajarannya di sekolah saat ini lebih banyak menekankan pada rumus dan urutan langkah pengerjaan (algoritma). Siswa-siswa kebanyakan hanya diajarkan untuk mengingat rumus dan menggunakannya dalam urutan langkah-langkah yang harus diikuti. Mungkin kalau pembaca pernah mengenyam matematika di sekolah tentunya pernah mengalami dan merasakannya. Ingat rumus dan ingat langkah menggunakannya.
Seharusnya, mengajarkan matematika dengan algoritma tidak sepenuhnya diterapkan kepada siswa. Algoritma membahayakan bagi pengembangan pemikiran dan penalaran perhitungan seorang anak. Bahkan yang lebih parah lagi, algoritma akan terus mengekang seorang anak. Artinya anak tidak akan bisa lepas dari algoritma yang telah diajarkan.
Mungkin pembaca dapat merasakan pada dirinya sendiri. Setelah kita belajar matematika biasanya dilanjutkan mengerjakan soal. Untuk menyelesaikan soal, pasti kita berupaya mengikuti langkah-langkah yang telah diajarkan oleh guru. Benar gak? Kalau iya itu artinya nalar kita tidak jalan karena hanya mengikuti apa yang telah diajarkan. Kalaupun kita bernalar, pasti kita tidak bisa melepaskan diri dari langkah-langkah yang diberikan oleh guru. Akibat yang paling sering kita rasakan, kalau kita mengalami kebuntuan mengerjakan soal maka biasanya kebanyakan dari kita menyerah karena tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tidak jalannya nalar kita juga tercermin saat lupa suatu rumus. Saat itu terjadi maka yang kita lakukan biasanya berusaha mengingat-ingat rumusnya, bukannya berusaha mencoba memikirkan dan bernalar bagaimana menyelesaikan soal. Sekali lagi, benar kan?. Disinilah letak bahayanya. Algoritma membelenggu penalaran seorang anak.
Pembelengguan penalaran inilah yang juga memunculkan pendapat kebanyakan orang bahwa sepertinya matematika itu lepas dari kehidupan. Pendapat ini terjadi karena kita sangat jarang menyelesaikan permasalahan dengan rumus atau harus dengan urutan langkah tertentu. Wajarkan pendapat seperti ini?
Oleh karena itu sudah sepantasnya paradigma pembelajaran matematika di sekolah diubah. Dari paradigma pembelajaran matematika yang menekankan hanya mengajarkan rumus dan langkah cara mengerjakan soal ke paradigma pembelajaran yang menekankan pada aspek penalaran siswa. Yaitu paradigma pembelajaran yang menghubungkan matematika dengan masalah-masalah kehidupan sehari-hari dan membebaskan siswa mengajukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri. Diharapkan dengan paradigma seperti ini maka siswa mampu menerapkan penalaran matematika dalam kehidupannya dan jika mengalami kelupaan pada saat mengerjakan soal maka nalarnya tetap jalan.
Sedangkan yang pro terhadap cara cepat menyatakan bahwa kebanyakan siswa tidak memahami dengan baik matematika. Begitu banyak rumus yang perlu siswa hapal dan sulitnya bagi mereka memahami langkah-langkah penggunaannya. Kalau dibiarkan maka dapat dipastikan nilai ujian mereka rendah.
Terlepas dari kedua pendapat di atas, kita menyadari bahwa konsep matematika itu penting namun pembelajarannya di sekolah saat ini lebih banyak menekankan pada rumus dan urutan langkah pengerjaan (algoritma). Siswa-siswa kebanyakan hanya diajarkan untuk mengingat rumus dan menggunakannya dalam urutan langkah-langkah yang harus diikuti. Mungkin kalau pembaca pernah mengenyam matematika di sekolah tentunya pernah mengalami dan merasakannya. Ingat rumus dan ingat langkah menggunakannya.
Seharusnya, mengajarkan matematika dengan algoritma tidak sepenuhnya diterapkan kepada siswa. Algoritma membahayakan bagi pengembangan pemikiran dan penalaran perhitungan seorang anak. Bahkan yang lebih parah lagi, algoritma akan terus mengekang seorang anak. Artinya anak tidak akan bisa lepas dari algoritma yang telah diajarkan.
Mungkin pembaca dapat merasakan pada dirinya sendiri. Setelah kita belajar matematika biasanya dilanjutkan mengerjakan soal. Untuk menyelesaikan soal, pasti kita berupaya mengikuti langkah-langkah yang telah diajarkan oleh guru. Benar gak? Kalau iya itu artinya nalar kita tidak jalan karena hanya mengikuti apa yang telah diajarkan. Kalaupun kita bernalar, pasti kita tidak bisa melepaskan diri dari langkah-langkah yang diberikan oleh guru. Akibat yang paling sering kita rasakan, kalau kita mengalami kebuntuan mengerjakan soal maka biasanya kebanyakan dari kita menyerah karena tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tidak jalannya nalar kita juga tercermin saat lupa suatu rumus. Saat itu terjadi maka yang kita lakukan biasanya berusaha mengingat-ingat rumusnya, bukannya berusaha mencoba memikirkan dan bernalar bagaimana menyelesaikan soal. Sekali lagi, benar kan?. Disinilah letak bahayanya. Algoritma membelenggu penalaran seorang anak.
Pembelengguan penalaran inilah yang juga memunculkan pendapat kebanyakan orang bahwa sepertinya matematika itu lepas dari kehidupan. Pendapat ini terjadi karena kita sangat jarang menyelesaikan permasalahan dengan rumus atau harus dengan urutan langkah tertentu. Wajarkan pendapat seperti ini?
Oleh karena itu sudah sepantasnya paradigma pembelajaran matematika di sekolah diubah. Dari paradigma pembelajaran matematika yang menekankan hanya mengajarkan rumus dan langkah cara mengerjakan soal ke paradigma pembelajaran yang menekankan pada aspek penalaran siswa. Yaitu paradigma pembelajaran yang menghubungkan matematika dengan masalah-masalah kehidupan sehari-hari dan membebaskan siswa mengajukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri. Diharapkan dengan paradigma seperti ini maka siswa mampu menerapkan penalaran matematika dalam kehidupannya dan jika mengalami kelupaan pada saat mengerjakan soal maka nalarnya tetap jalan.
Algoritma Yang Baik dan Benar Tidak akan Berbahaya bagi Penalaran Siswa.
ReplyDeleteSalam...
:)