"Sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus masa dan usia, ia tak terhalang ruang dan jarak". (Salim A. Fillah)
Guru adalah perancang dan pemegang peradaban masa depan bangsa. Di tangan para guru nasib bangsa ini 20-50 tahun mendatang ditumpukan. Baik tidaknya generasi mendatang bergantung dari baik tidaknya generasi guru saat ini mempersiapkan para pemimpin masa depan. Di tangan guru para generasi bangsa ini dididik. Tanpa guru yang mumpuni, mustahil sebuah negara bisa maju.
Sebuah bangsa yang besar dan maju tentu punya budaya literasi (membaca & menulis) yang baik pula. Namun yang akan saya bahas dalam tulisan ini terkait dengan budaya menulis bagi seorang guru. Guru yang profesional dan mumpuni diharapkan selain mengajar di kelas juga mempunyai kemampuan lebih yang lain. Diantaranya mengembangkan budaya membaca dan menulis. Sebagai insan cendikia, guru tentu memiliki pengalaman dan kapasitas intelektual serta waktu dan kesempatan cukup besar. Dengan modal itu seorang guru dapat mengembangkan kemampuannya untuk berkiprah dalam bidang kepenulisan.
Berbeda dengan bahasa lisan, melalui tulisan seseorang dapat mengkritik dan marah secara santun dan lebih terhormat. Karena dengan menulis seseorang dapat memikirkan terlebih dahulu setiap kata yang dituliskan; berefek negatif atau positif. Bermanfaat atau membawa mudharat.
Sebuah ungkapan bijak mengatakan jika seseorang ingin mengenal dan tahu keberadaan dunia maka membacalah, dan jika ingin dunia mengenalmu maka menulislah. Dunia akan tahu bahwa kau ada dengan menulis. Mulailah menuliskan apa saja yang ada di sekitar kita dan dari bidang ilmu yang kita kuasai. Setidaknya, tulisan yang bermanfaat tentang dunia pendidikan dan dipublikasikan akan menggeser tulisan-tulisan beresensi negatif yang meresahkan.
Ali bin Abi Thalib mengungkapkan bahwa ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Guru yang menuliskan informasi atau pengetahuan yang menginspirasi tentu dapat dinikmati oleh banyak orang. Tidak dibatasi oleh tembok-tembok kelas. Tulisannya dapat dibaca oleh banyak orang kapan dan dimana saja. Guru yang terbiasa memberikan informasi pengetahuan secara lisan, kekekalannya hanya berlangsung hingga pertemuan di kelas selesai. Tetapi jika dituliskan, meski tubuh segar kita telah rata dilumat tanah. Karya yang manfaat akan melampaui usia kita. Jauh melewati batas ruang dan waktu.
Menurut Asep Sapaat dalam bukunya “Stop Menjadi Guru”,menulis merupakan senjata ampuh bagi seorang guru untuk mengevaluasi dirinya. Ia dapat bercermin untuk memperbaiki dirinya lewat catatan harian mengenai pergulatan hidup dan pengalaman mengajar. Kegiatan tulis menulis juga akan membiasakan seorang guru untuk membaca, sehingga ia pun secara sadar atau tidak sadar sedang belajar. Mendidik dirinya lewat rekam jejak tulisan yang ia buat. Menulis menjadi medianya untuk menuangkan ide, gagasan, dan pemikiran mengenai berbagai hal, khususnya terkait dengan tugas dan fungsinya sebagai tenaga pendidik.
Kita berlindung dari kemalasan, riya’ dan ujub. Guru dan penulis dapat mewariskan nilai-nilai kebenaran lewat tulisan. Semoga dari setiap tulisan yang kita buat ada yang tergerak, ada yang terilhami, ada manfaat, dan kebaikan. Untaian huruf demi huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi paragraf hingga wacana yang mengalir dari jemari penyampai kebenaran ini menjadi tabungan kebaikan di akhirat. Meski usia para penulis kebenaran itu pendek, melalui tulisan yang melampaui usianya akan menjadi amalan jariyah baginya. Amiin.
No comments:
Post a Comment