BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kerap kali terdengar orang tua memperbincangkan masalah-masalah kenakalan remaja yang merebak di mana-mana, lalu mereka itu saling memberikan komentar yang beraneka ragam. Seperti ”memang zaman sekarang ini anak-anak itu susah diatur” dan ”Senangnya merokok. Kalau pergi dengan teman-temannya tidak kenal waktu”, dan lain-lain.
Kalau anak-anak sampai berperilaku demikian itu apa sebabnya? Siapa yang harus bertanggung jawab untuk kerancuan dan porak porandanya nilai-nilai luhur budaya yang baik pada zaman generasi sebelumnya? Saling menuding dan menyalahkan tidak akan membuat mereka menjadi lebih baik, atau berubah baik. Hanya dengan mawas diri, berani melakukan introspeksi, koreksi diri sendiri dan mencari sumber kesalahan kemudian menyelesaikannya, maka akan mendapatkan jalan keluarnya.
Untuk mencegah berlarutnya permasalahan tersebut, perlu adanya kesadaran dari semua pihak yang terkait dengan melakukan tindakan proaktif, yaitu mensosialisasikan pendidikan moral ke dalam masyarakat agar anak-anak mendapatkan pendidikan moral. Sehingga anak memiliki kecerdasan moral yang dapat menunjang pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai nilai moral yang tinggi.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk mengarahkan pembahasan lebih efektif dan sistematis, maka memungkinkan untuk dibuatkan susunan sub-sub pembahasan, yakni sebagai berikut:
a. Pengertian Kecerdasan
Pengertian Moral
c. Pengertian Kecerdasan Moral
Permasalahan Moral
Situasi Perkembangan Moral pada Anak
Langkah-langkah Membangun Kecerdasan Moral pada Anak
1.3. Tujuan
Setelah mengetahui perumusan masalah di atas, dapat dipahami inti dari pembahasan makalah ini, yakni sebagai berikut:
Untuk mengetahui pengertian kecerdasan
Untuk mengetahui pengertian moral
Untuk memahami makna kecerdasan moral
Untuk lebih mempertajam mengenai permasalahan moral
Membantu memperjelas situasi perkembangan moral pada anak
Memberikan pedoman untuk membentuk kecerdasan moral pada anak.
1.3. Kegunaan Pembuatan Makalah
-Kegunaan dasar : dapat membekali penulis dengan pengetahuan mengenai pentingnya memiliki kecerdasan moral dalam kehidupan sehari-hari.
-Kegunaan umum: sebagai sarana untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan sekaligus turut serta dalam pembentukan pribadi-pribadi yang hebat karena kecerdasan moralnya dalam rangka mewujudkan kehidupan dunia yang adil dan damai.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian kecerdasan
Kecerdasan (dalam bahasa inggris disebut intelegence dan bahasa arab disebut al-dzaka) menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Dalam arti, kemampuan (al-qudroh) dalam memahami sesuatu secara cepat dan sempurna. Begitu cepat penangkapannya itu sehingga Ibnu Sina, seorang psikolog falsafi, menyebut kecerdasan sebagai kekuatan intuitif (al-hads).
Binet ketika mengadakan tes kecerdasan individual menekankan pada masalah penalaran, imajinasi, wawasan (insight), pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang tercakup dalam tingkah laku kecerdasan. Namun pada penelitian lain, pengukuran kecerdasan ditekankan pada kemampuan penyesuian diri secara cepat dan efektif terhadap situasi yang baru. Penelitian yang berbeda memberikan penekanan pada kemampuan memecahkan masalah-masalah abstrak. Berdasarkan penelitian di atas, J.P. Chaplin kemudian merumuskan tiga definisi kecerdasan, yaitu; (1) kemampuan menghadapi dan meysuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (2) kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol, dan megritik; (3) kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.
Dalam pengertian yang lebih luas, William Stern, yang dikutip oleh Crow dan Crow, mengemukakan bahwa intelegensi berarti kapasitas umum dari seorang individu yang dapat dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi tuntutan kebutuha-kebutuhan baru, keadaan ruhaniah secara umum yang dapat disesuaikan dengan problema-problema dan kondisi-kondisi yang baru di dalam kehidupan. Pengertian ini tidak hanya menyangkup dunia akademik, tetapi lebih luas, menyangkut kehidupan non-akademik, seperti masalah-masalah artistik dan tingkah laku sosial.
Pada mulanya, kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan struktur akal (intellect) dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif (al-majal al-ma’rifi). Namun pada perkembangan berikutnya, disadari bahwa kehidupan manusia bukan semata-mata memenuhi struktur akal, melainkan terdapat stuktur kalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif (al-majal al-infi’ali), seperti kehidupan emosional, moral, spiritual, dan agama. Karena itu, jenis-jenis kecerdasan pada diri seseorang sangat beragam seiring dengan kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya. Topik ini lebih memfokuskan pada penelaahan kecerdasan moral.
2.2. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata latin ‘mos’ (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas, merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Menurut Zakiah Daradjat, dalam bukunya yang berjudul “Peranan Agama dalam Kesehatan Mental mengatakan bahwa moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan atau keinginan pribadi.
Dalam Islam moral merupakan terjemahan dari kata akhlak. Namun demikian moral dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan atau kelakuan yang bersumber dari nilai-nilai masyarakat, sedangkan akhlak merupakan suatu kelakuan atau sikap yang dimiliki oleh seseorang yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Di kalangan para ulama terdapat berbagai pengertian tentang apa yang dimaksud moral/akhlak. Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa moral/akhlak mengacu kepada perbuatan yang bersifat manusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai dari sekedar perbuatan alami seperti makan, tidur, dan sebagainya.
Pengertian moral secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih, bahwa moral/akhlak adalah suatu perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan pertimbangan dan pertimbangan lagi.
Berdasarkan definisi di atas Abuddin Nata, merumuskan bahwa perbuatan moral/akhlak harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Perbuatan tersebut telah mendarah daging atau mempribadi, sehingga menjadi identitas orang melakukannya.
Perbuatan tersebut dilakukan dengan mudah, gampang serta tanpa memerlukan pikiran lagi. Sebagai akibat dari telah mempribadinya perbuatan tersebut.
Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri bukan karena paksaan dari luar. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sebenarnya bukan berpura-pura, sandiwara, atau tipuan dan perbuatan tersebut atas dasar niat karena Allah swt.
Dalam hubungannya antara ajaran agama khususnya Islam dan moral ini, Zakiah Daradjat berpendapat bahwa jika kita ambil ajaran agama, maka moral adalah sangat penting bahkan yang terpenting di mana kejujuran, keadilan, kebenaran dan pengabdian adalah di antara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.
Hal ini sejalan pula dengan pendapat Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa: “Inti ajaran agama adalah moral yang bertumpuh pada keyakinan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (Habl minallah) dan keadilan serta berbuat baik dengan sesama manusia (Habl minannaas).”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa moral dalam ajaran Islam merupakan terjemahan dari kata akhlak yang berarti sifat terpuji yang merupakan pantulan berupa perilaku, ucapan dan sikap yang ditimbulkan oleh seseorang atau dengan kata lain moral adalah amal saleh dan dalam mendidik moral anak orang tua harus memberikan tauladan yang baik sebab moral anak terbentuk dengan meniru bukan dengan nasehat atau petunjuk.
2.3. Pengertian Kecerdasan Moral
Ketika disebut istilah “kecerdasan moral” maka nama yang muncul dibelakangnya adalah Robert Coles, seorang psikiater anak dan peneliti pada Harvard university Health Services dan profesor psikiatri serta ilmu-ilmu kemanusiaan medis pada Harvard Medical School. Karya Coles yang berkenaan dengan kecerdasan moral adalah The Moral Intelligence of Children: How to Raise a Moral Child tahun 1997. Isinya lebih banyak memuat kasus-kasus atau cerita-cerita yang berkaitan dengan kehidupan moral, walaupun di akhir ceritanya Coles mencoba menarik konklusi tentang kecerdasan moral. Coles mengakui bahwa pertama kali ia mendengar istilah “kecerdasan moral” dari Rustin Mc Intosh, seorang dokter anak yang selalu memperhatikan sikap pasiennya yang baik hati, lemah lembut, memikirkan orang lain, dan mampu mengarahkan dirinya sendiri dengan baik. Coles kemudian tertarik untuk mengembangkan jenis kecerdasan ini melalui beberapa penelitian yang dilakukan selama lebih dari 30 tahun.
Coles secara tegas tidak pernah mendefinisikan term moral secara khusus dalam karyanya. Namun ia mengemukakan bahwa kecerdasan moral seolah-olah bidang ketiga dari kegiatan otak (setelah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional) yang berhubungan dengan kemampuan yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah,dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran manusia. Indikator kecerdasan moral adalah bagaimana seseorang memiliki pengetahuan tentang moral yang benar dan yang buruk, kemudian ia mampu menginternalisasikan moral yang benar ke dalam kehidupan nyata, dan menghindarkan diri dari moral yang buruk. Orang yang baik adalah orang yang memiliki kecerdasan moral, sedangkan orang yang jahat merupakan orang yang ‘idiot’ moral.
Para psikolog, psikiater, dan konselor sering sekali berbicara tentang anak yang cerdas atau anak yang kacau emosinya. Tetapi mereka banyak melupakan bagian lain dari sisi kehidupan kliennya yang baik hatinya atau memiliki perjalanan hidup yang panjang menuju kejahatan. Mereka mampu mengarahkan dan menumbuhkan kecerdasan intelektual anak, namun mereka melupakan fungsi baik-buruknya penumbuhan kecerdasan itu, sehingga seringkali didengar istilah perampok berdasi, pencuri legal karena perbuatannya tidak dapat dijerat oleh hukum, dan istilah-istilah minor lainnya. Seorang yang ahli di bidang komputer, dengan kecerdasan intelektualnya, ia mampu mengakses data bank di seluruh dunia, dan dapat mentransfer uang dari rekening satu ke rekening lain secara mudah. Apakah sosok seperti ini yang diharapkan dari perjalanan psikologi?
Kecerdasan moral tidak dapat dicapai dengan menghafal atau mengingat kaidah atau aturan yang dipelajari di dalam kelas, melainkan membutuhkan interaksi dengan lingkungan luar. Ketika seorang anak telah berinteraksi dengan lingkungan maka dapat diperhatikan bagaimana sikap yang diperankan, apakah ia memiliki sikap yang sopan, penuh belas kasih, adanya atensi, tidak sombong atau angkuh, egois atau mementingkan diri sendiri, dan sejumlah sikap lainnya.
2.4. Permasalahan Moral
Sebelum membicarakan tentang meningkatkan kecerdasan moral, perlu diketahui dulu apakah itu yang termasuk di dalam permasalahan moral. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, dan konsep moral adalah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Sementara yang menentukan pola perilaku tersebut diharapkan dari seluruh anggota kelompok.
Petuah atau pendidikan sopan-santun, tatakrama, disiplin, budi pekerti, pendidikan keluarga dan lain sebagainya itu mendasari perilaku dan sikap penampilan serta sikap mental manusia Indonesia. Tetapi hal tersebut sebenarnya sudah banyak yang mengalami perubahan sejalan dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman. Namun demikian masih banyak pula yang mempunyai nilai-nilai luhur dan baik untuk dipertahankannya.
Contohnya dulu busana wanita adalah kain-kebaya, baju bodo, sarung dan lain sebagainya, sekarang hampir semua wanita memakai gaun atau celana sebagai pakaian harian mereka, jadi perubahan ini dapat diterima dan mengubah kebudayaan yang lama. Sedangkan bagi berbusana dengan model buka-bukaan atau mempertontonkan sebagai tubuhnya yang ”seharusnya” terlindung, untuk orang Indonesia sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra.
Perilaku amoral atau nonmoral lebih disebabkan ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok. Dalam hal ini ada empat pokok masalah utama:
1. Mempelajari apa yang diharapkan masyarakat dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan dan peraturan. Misalnya masyarakat diharuskan mematuhi peraturan lalu lintas, juga harus mematuhi undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang terdapat di dalam undang-undang. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi. Tetapi ketika melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, orang tersebut bisa lolos dari jaring hukum, maka secara tidak langsung membuat moral dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat itu merosot. Nilai-nilai kebudayaan yang luhur menjadi luntur, karena hukum yang berlaku secara semestinya tidak dapat ditegakkan.
2. Mengembangkan hati nurani. Dalam hal ini terkait erat dengan kecerdasan jasmani spiritual dan kecerdasan emosi. Anak hendaknya sejak kecil sudah mendapat contoh atau teladan dari perilaku orang tuanya. Seperti adil, bijaksana, peduli terhadap orang lain dan lingkungan, mempunyai rasa welas asih, dapat berempati dan membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Kepada anak diajarkan melakukan hal-hal yang baik sebagai rasa syukur kepada Allah YME atas kemurahan dan anugerahNya, serta segala nikmat yang diperolehnya.
3. Belajar mengakui perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Kalau anak melakukan kesalahan hendaknya mendapat teguran atas kesalahannya, bukan langsung marah-marah dan menghukumnya. Yang benar adalah menunjukkan kesalahannya untuk kemudian diberi tahu yang benar itu bagaimana dan cara memperbaikinya. Kalau memang anak terlalu bandel, barulah diberikan hukuman yang positif atau yang membangun.
4. Mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial untuk belajar apa saja yang diharapkan masyarakat. Anak dibiarkan bergaul dengan sebayanya akan tetapi juga harus diawasi, jangan sampai anak bergaul dengan kelompok yang berperilaku antisosial atau anak-anak nakal berandalan.
2.5. Situasi Perkembangan Moral pada Anak
Perkembangan moral terjadi dalam dua fase yang berbeda namun saling berhubungan. Fase pertama perkembangan perilaku moral dan perkembangan konsep moral. Perkembangan perilaku moral itu dapat diperoleh sejalan dengan bertambahnya usia, pendidikan dan pengalamannya, yang berupa hasil dari coba-coba, pendidikan langsung dan identifikasi.
Fase kedua adalah fase belajar tentang konsep moral atau prinsip-prinsip benar dan salah. Konsep moral itu akan berkembang sejalan dengan perkembangan, pendidikan, bertambahnya pengetahuan dan cara berfikir anak. Dengan berkembangnya mental anak, maka anak mampu membedakan benar dan salah, serta bagaimana supaya anak dapat menggeneralisasi atau mentransfer prinsip tingkahlaku dari satu situasi ke situasi yang lain.
Bagi anak yang mendapatkan pendidikan moral yang sesuai dengan tuntutan komunitasnya, akan merasa nyaman dan tidak resah karena tidak mengalami penolakan dari lingkungannya. Dan ini sangat menunjang konsep diri, rasa percaya diri sehingga anak tidak akan menunjukkan sikap antisosial dan emosinya pun akan menjadi lebih stabil.
Mengenai pengembangan kecerdasan moral, erat hubungannya dengan penerapan disiplin pada anak. Anak yang mempunyai kecerdasan moral tinggi, akan lebih disiplin dan mempunyai rasa tanggung jawab lebih besar, karena setiap pelanggaran merupakan sesuatu yang ”salah” atau ”tidak baik” menurut ukuran etika moralnya. Dengan demikian anak cenderung dapat dihindarkan dari perbuatan-perbuatan yang kurang baik atau tidak senonoh.
- Perkembangan moral menurut teori belajar sosial
Menurut teori ini perkembangan moral merupakan proses yang dipelajari selama proses interaksi sosial perseorangan dengan orang lain. Remaja akan berkembang moralnya dengan baik apabila dalam sejarah kehidupan ia dapat meniru orang lain di lingkungannya.
-Tahapan perkembangan moral
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Menurut Piaget ada beberapa tahapan perkembangan moral yang terjadi pada manusia secara umum dapat di kelompokkan sebagai berikut:
Perkembangan moral pada anak-anak
Perkembangan moral pada masa kanak-kanak masih sangat rendah, karena perkembangan intelektual anak belum matang, dimana ia belum mampu mempertimbangkan segala sesuatu yang akan terjadi akibat dari kelakuannya.
Karena tidak mengerti masalah standar moral, maka ia hanya belajar “bagaimana” bertindak tanpa mengetahui “mengapa”, sekalipun pada anak-anak yang tergolong cerdas. Anak yang dilarang melakukan sesuatu, 1 atau 2 hari ia akan lupa akan larangan itu, sehingga kita membutuhkan waktu yang panjang untuk menciptakan moral yang baik pada anak.
Menurut “Piaget” bahwa moralitas melalui paksaan, moral anak otomatis mengikuti peraturan tanpa berfikir atau menilai, dan cenderung menganggap orang dewasa yang berkuasa sebagai maha kuasa. Yang paling penting menurut Piaget bahwa anak menilai suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan hukuman bukan pada nilai moralnya.
Perkembangan moral pada masa akhir kanak-kanak.
Menurut Piaget, antara usia 5-12 tahun, konsep anak mengenai keadilan, salah dan benar sudah berubah. Anak mulai mempertimbangkan keadaan khusus dan akibat social terhadap pelanggaran yang dilakukan, bukan lagi berpatokan pada hukuman dan aturan. Contoh: Pada masa anak-anak, jika berbohong akan dimarah dan dipukuli. Akan tatapi perkembangan moral pada masa akhir anak-anak bahwa berbohong berakibat buruk pada standar moral dan lingkungannya dan pada akhirnya tidak semua perbuatan bohong itu buruk, dalam beberapa situasi berbohong bisa dibenarkan.
Perkembangan moral pada masa remaja.
Kohlberg mengatakan “Moralitas pasca konvensional” yaitu tahap menerima dari sejumlah prinsip yang terdiri dari 2 tahap yaitu:
Piaget mengatakan “ Tahap pelaksanaan formal” dalam artian bahwa remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan hipotesis dan proposisi.
- Individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam sebuah aturan sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar moral.
- Individu menyesuaikan diri dengan atandar social dan aturan moral yang ada untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri.
Lawrence Kohlberg dalam studi panjangnya menyebutkan ada enam tahap perkembangan moral dalam diri manusia. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi oleh hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Tahapan-tahapan tersebut ialah:
Orientasi pada hukuman dan ganjaran serta pada kekuatan fisik dan material. Akibat fisik suatu tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan itu.
Orientasi Hedonitas dengan suatu pandangan instrumental tentang hubungan-hubungan manusia. Gagasan mengenai timbal-balik mulai berkembang, tetapi dengan suatu tekanan atas pertukaran jasa yakni, ”Jika anda menggaruk punggung saya, maka saya akan menggaruk punggung anda”, dan bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih dan keadilan.
Orientasi ”Anak manis”; berusaha mempertahankan harapan-harapan dan memperoleh persetujuan dari kelompoknya yang langsung; moralitas ditentukan oleh ikatan individu dalam hubungan. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan ”ia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan dengan berperilaku ”baik”.
Orientasi pada otoritas, hukum dan kewajiban untuk mempertahankan tata tertib yang tetap (entahlah peraturan itu bersifat sosial ataupun religius) yang dianggap sebagai suatu nilai utama. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya.
Orientasi kontrak-sosial dengan penekanan atas persamaan derajat dan kewajiban timbal balik di dalam suatu tatanan yang ditetapkan secara demokratis. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Terlepas dari apa yang disepakati secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal ”nilai” dan ”pendapat” pribadi. Hasilnya adalah suatu tekanan atas ”sudut pandangan legal”, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hukum, berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan sosial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka ”hukum dan ketertiban”, gaya tahap 4.
Moralitas prinsip suara hati yang individual dan yang memiliki sifat komprehensif logis dan universalitas. Nilai tertinggi diberikan pada hidup manusia, persamaan derajat dan martabat. Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemahaman logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas, kategoris imperatif).
Tahap 1 dan 2 yang khas bagi anak-anak muda dan anak-anak nakal, dilukiskan sebagai tahap ”pramoral” sebab putusan sebagian besar dibuat atas kepentingan diri dan pertimbangan-pertimbangan material.
Tahap 3 dan 4 yang berorientasi pada kelompok merupakan tahap ”konvensional”, pada tingkat inilah kebanyakan orang dewasa bertingkah laku.
Dua tahap akhir yang mengacu pada ”prinsip” merupakan ciri khas dari 20 hingga 25 persen populasi orang dewasa, dengan kemungkinan 5 hingga 10 persennya mencapai tahap 6.
Masing-masing tahap itu sendiri dirumuskan atas dasar nilai-niai atau hal-hal yang tersangkut dalam putusan moral. Salah satu hal adalah nilai yang dikenakan pada kehidupan.
Pada tahap 1, hidup dinilai dalam pengertian kekuatan atau perolehan dari pribadi yang terlibat; pada tahap 2, hidup dinilai sejauh berguna untuk memenuhi semua kebutuhan individu tersebut atau orang lainnya.
Pada tahap 3, hidup dinilai dari segi hubungan individu dengan orang lain atau penilaian terhadapnya; pada tahap 4, hidup dinilai dalam pengertian hukum soaial atau religius.Hanya pada tahap 6-lah setiap hidup dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya sendiri, terlepas dari semua pertimbangan lain.
Faktor lain yang menentukan tahap berbagai pertimbangan adalah motivasi untuk bertindak secara moral. Pada tahap yang paling rendah orang bertindak untuk menghindari hukuman atau untuk bertukar kebaikan; pada tingkat yang paling tinggi untuk menghindari penghukuman diri.
Pola berpikir tahap 2 dalam tindakan secara moral tampak pada Jimmy. Ketika anak berusia 13 tahun itu ditanyai apakah seorang anak (laki-laki) seharusnya melaporkan kepada ayahnya tentang kelakuan buruk saudaranya, ia menjawab, ”Menurut saya, sebaiknya ia mendiamkan saja hal itu. Mungkin anak itu juga ingin berbuat demikian. Bila ia mengadukan Alex, mungkin Alex akan mengadukannya juga.” Jawaban tahap 3 atas pertanyaan yang sama mungkin dapat berbunyi bahwa anak itu seharusnya mengatakan kelakuan itu kepada ayahnya sebab ayahnya percaya kepadanya – atau ia seharusnya tidak mengatakan hal itu sebab Alex mempercayainya.
Apa yang mempercepat kemajuan dari suatu tahap ke tahap lainnya, dan mengapa sejumlah orang mencapai tahap yang mengacu pada ”prinsip”, sementara yang lainnya tidak?
Pertimbangan moral pertama-tama merupakan suatu fungsi dari kegiatan rasional. Faktor-faktor afektif seperti kemampuan untuk mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah turut berperan dalam pertimbangan moral, tetapi situasi-situasi moral ditentukan secara kognitif oleh pertimbangan pribadi. Karena itu, perkembangan moral merupakan suatu hasil kemampuan yang semakin berkembang untuk memahami kenyataan sosial atau untuk menyusun dan mengintegrasikan pengalaman sosial. Satu syarat yang perlu, tetapi yang tidak mencukupi, untuk moralitas yang mengacu pada prinsip adalah kemampuan untuk berpikir secara logis (yang ditampakkan oleh tahap-tahap kegiatan formal)
Faktor-faktor penentu utama, yang didapat dari pengalaman bagi perkembangan moral, tampaknya berupa jumlah dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk berjumpa dengan sudut pandang yang lain. Dengan demikian, anak-anak dari golongan menengah dan yang populer biasanya maju lebih jauh dan lebih cepat daripada anak-anak dari golongan bawah dan yang tersisih secara sosial.
Penelitian Kohlberg memperlihatkan bahwa meskipun keluarga memegang peranan penting, namun akibat-akibat terhadap proses perkembangan, pertama-tama disebabkan oleh tersedianya kesempatan untuk mengambil peran yang diberikan juga oleh kelompok sebaya, sekolah, dan masyarakat yang lebih luas.
2.6. Langkah-langkah Membangun Kecerdasan Moral pada Anak
-Pembentukan Moral Anak Diawali dari Orang Tua
Pendidikan anak dalam lingkungan keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak, untuk mencapai kedewasaan atau dapat disebut mencapai dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak”. Karena dalam keluarga tempat fasilitas anak untuk tumbuh dan berpola serta bertingkah laku. Dan dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak” karena dalam lingkungan keluargalah seorang anak tumbuh dan bertingkah laku sesuai dengan keadaan lingkungan keluarga, yang berlangsung secara berkesinambungan menuju tingkat kedewasaan. Strategi yang baik dalam proses pembentukan moral adalah strategi yang dapat melahirkan metode yang baik pula. Sebab metode merupakan suatu cara dalam pelaksanaan strategi.
Selanjutnya dalam mendidik anak ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain:
1. Metode Teladan
Al-Qur’an dengan tegas menandaskan pentingnya contoh teladan, Allah menyuruh kita mempelajari tindak tanduk Rasulullah Saw. dalam QS. Al-Ahzab : 21 yang berbunyi :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Terjemahnya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Teladan yang baik dari orang tua dibutuhkan pada hal-hal berikut :
Konsekuen dalam melaksanakan sikap terpuji dan akhlak mulia karena satu kali saja berbuat salah di depan anak, maka terhapuslah semua yang baik di matanya.
Sebagian besar akhlak yang terpuji didapati anak dari contoh dan teladan orang tuanya. Sifat dermawan, berani, amanah, menghormati orang lain, dll adalah sifat yang didapat anak dari sikap orang tuanya yang ia lihat langsung.
Sampai usia empat tahun, anak menjadikan orang tuanya sebagai teladan utama.
2. Metode Nasehat
Memberikan pengertian sangat penting bagi perkembangan anak karena dengan pengertian yang akan menjadikan dirinya memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak dilakukan. Namun seringkali anak ingin mencoba untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan orang tua. Oleh karena itu, perbuatannya perlu ditunjukkan atau diberi peringatan. Jika peringatannya tidak diperhatikan dan selalu melakukan tanpa mempedulikan orang atua atau lingkungan keluarga, orang tua perlu memperlakukan tindakan dengan mencegah perbuatannya itu, agar tidak diulangi lagi, sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman : 13.
Terjemahnya :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Sebagai orang tua, saat memberikan pengertian terhadap sesuatu yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan hendaklah benar-benar kita terapkan juga, dan jangan sampai melanggarnya, apalagi kalau anak melihatnya. Begitu juga dalam memberikan peraturan dan perintah hendaknya melihat kondisi dan sesuai dengan masa, usia perkembangannya. Karena kita tidak memaksakan sesuatu sekehendak diri kita, melainkan melihat, memperhatikan kondisi perkembangannya.
3. Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan sangat penting untuk diterapkan karena pembentukan moral dan rohani tidaklah cukup tanpa pembiasaan sejak dini. Untuk terbiasa hidup disiplin, teratur, tolong menolong dalam kehidupan sosial memerlukan latihan yang kontinu setiap hari dan dibarengi dengan keteladanan dan panutan, karena pembiasaan tanpa dibarengi contoh tauladan akan sia-sia.
4. Metode Kisah
Dalam Islam metode kisah mempunyai fungsi edukatif tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian selain bahasa. Anak-anak menyukai mendengarkan cerita karena daya hayal mereka luas dan karena kisah atau cerita bisa menggambarkan suatu peristiwa seperti nyata. Menceritakan kisah-kisah para nabi akan dapat menggugah hati anak sebab kisah-kisah para nabi memuat nilai-nilai akhlak yang terpuji yang ditampilkan dengan cara menarik baik itu akhlak yang dimiliki para rasul atau kesabaran dan perjuangannya dalam menyampaikan risalah.
5. Hadiah dan hukuman
Menggemarkan berbuat baik dan peringatan dari perbuatan jahat adalah dua hal yang erat hubungannya dalam Al-Qur’an, dan ini cukup agar orang menjadi beriman. Orang yang tidak terpengaruh oleh apa yang Allah SWT. janjikan bagi perbuatan baik dan hukuman dari perbuatan jahat, maka Allah SWT. akan memberikan azab-Nya di dunia dan akhirat. Seperti halnya imbalan bagi perbuatan baik, begitu pula hukuman merupakan salah satu sarana pendidikan. Di antara hukuman tersebut misalnya pukulan merupakan sarana mendidik anak agar tidak malas shalat.
Namun yang harus diperhatikan ornag tua adalah bahwa hadiah dan hukuman itu tidak menjadikan anak lupa apa yang dilakukan dan diperbuatnya, hanya memperhatikan hadiahnya. Di sinilah dibutuhkan peran orangtua bagaimana agar dalam memberikan hadiah yang menjadikan baik bagi anak.
- Tanamkan Moral Agama Pada Anak.
Rasulullah mengajarkan kepada para istri-istri sahabat untuk selalu membacakan ayat-ayat suci Al-Quran semenjak anak-anak mereka masih dalam kandungan. Menurut sebuah majalah tentang ibu dan anak hampir 80% tingkat kecerdasan anak akan meningkat jika sang ibu selalu membaca dan memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al-Quran kepada sang anak, karena nantinya akan membentuk jiwa seorang anak yang memiliki nilai kepribadian yang positif. Jadi tergantung bagaimana keseharuian dari si orang tua itu sendiri dalam mendidik anaknya, jika si orang tua memiliki sifat religi maka akan mempengaruhi si anak atau sebaliknya.
Agama berperan penting bagi perkembangan moral anak. Untuk itu, menanamkan agama pada anak sejak dini sangat penting. Anak juga akan memahami agama yang dipeluknya secara jelas. Siapa pun pasti ingin melihat anaknya tumbuh menjadi orang sukses dan berakhlak mulia. Butuh kerja keras untuk mewujudkan keinginan tersebut. Tentunya mustahil kalau kita selaku orangtua hanya berpangku tangan, menunggu sampai saat itu tiba. Orangtua justru dituntut secara aktif membantu anaknya mencapai apa yang menjadi cita-citanya dan cita-cita mereka. Selain ilmu pengetahuan, pemahaman agama juga harus menjadi perhatian utama untuk mencetak anak berprestasi hebat dan mulia.
Jika konsep keagamaan telah diajarkan kepada anak sejak dini, kelak setelah dewasa anak akan mengetahui bahwa agama atau keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi untuk menciptakan kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim diri sebagai penyelamat umat manusia, dan mengajarkan kebaikan kepada seluruh umatnya.
Pendidikan agama juga sangat penting karena bisa menumbuhkan sikap ideal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Dalam cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan mengenai dunia, pendidikan agama bagi anak menjadi agen yang akan mempersiapkan anak untuk memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka, kelak ketika mereka semakin dewasa. Selain mengajarkan konsep beragama, anak juga harus dikenalkan dengan hak kebebasan beragama.
Dialog Antar Agama negaranegara Asia-Eropa (ASEM Dialog Interfaith) beberapa tahun lalu, menghasilkan deklarasi yang menyepakati upaya bersama untuk menjaga perdamaian dan toleransi di antara umat manusia, mempromosikan perlindungan HAM, menentang digunakannya kekerasan, menentang penggunaan agama untuk merasionalsasi kekerasan, dan membangun harmoni di antara komunitas internasional.
Deklarasi ini juga merekomendasikan adanya studi antaragama sejak sekolah lanjutan pertama yang bertujuan menumbuhkan pemahaman dan penghargaan antarpemeluk agama yang berbeda. Rekomendasi Deklarasi tersebut menjadi sangat penting dalam konteks Indonesia baik untuk orangtua ataupun anak-anak. Agar anak bisa mendalami agama yang dianutnya, pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap dan memahami pluralitas bermasyarakat.
Pendidikan agama semestinya diarahkan untuk mengajak anak menerima dan terbuka terhadap pluralisme. Dengan begitu, anak memiliki kesempatan untuk mencerna rasa keberagamaannya dengan bahasanya sendiri dan menumbuhkan kesadaran keberagamaan itu di tengah-tengah komunitas lain di luarnya. Untuk maksud tersebut, sejak awal anak sudah diperlihatkan terhadap perbedaan-perbedaan melalui lapangan konkret, seperti adanya masjid, gereja, pura, wihara.
-Mengembangkan Kepekaan Sosial Sejak Dini
Kurangnya empati kerap menyulut konflik. Komunikasi efektif membantu membangun empati anak sejak dini. Bagaimana membangun empati pada anak sejak dini?
Empati merupakan sikap atau perilaku memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara. Egois, cuek, dan tidak peduli merupakan cerminan dari ketiadaan empati, dan ini sering kali menjadi penyulut konflik.
Psikolog dari Universitas Airlangga, Iwan Wahyu Hidayat, mengungkapkan bahwa empati berbeda dengan simpati yang lebih merujuk pada ekspresi ataupun tindakan mengasihani seseorang. Menurut dia, empati merupakan upaya memahami posisi seseorang dan apa yang dirasakannya. Dengan kata lain, empati lebih dari sekadar rasa kasihan, karena di dalamnya terdapat makna untuk menghargai dan menghormati orang di sekitarnya. Itulah sebabnya, bagi para orangtua, membangun pemahaman anak terhadap empati lebih penting artinya dibandinglan sekadar memberikan materi kepada orang lain (misalnya pada pengemis) hanya karena kasihan. Caranya bisa beragam dan akan lebih mengena bila si anak mengalaminya secara langsung.
Misalnya, merayakan ulang tahun bersama anak-anak panti asuhan, membagikan sembako pada para pengungsi bencana alam di tenda-tenda pengungsian, ataupun menyumbangkan alat baca-tulis pada anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan. Pada dasarnya, setiap manusia dibekali sifat welas asih untuk saling membantu dan menyayangi antara sesama manusia, sesama makhluk hidup dan lingkungannya. Melalui kegiatan sosial tersebut, anak tidak hanya melihat potret kehidupan orang lain, tetapi belajar untuk peduli dan memahami bahwa banyak anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Dengan begitu, empati dan kepekaan sosialnya dapat terasah. Perlu diingat, empati amat erat kaitannya dengan kepekaan atau kecerdasan sosial sehingga perlu ditanamkan sejak kecil.
Kewajiban ini terletak di pundak orangtua selaku penanggung jawab penuh atas tumbuh-kembang putra-putrinya. Komunikasi efektif antara orangtua-anak begitu kerap didengungkan. Tentu bukan tanpa alasan, sebab cara orangtua membangun komunikasi dan hubungan dengan anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosional si anak dan terbawa hingga dewasa kelak. Untuk itu, orangtua harus menciptakan kedekatan dengan buah hatinya dari segala aspek, misalkan melalui kebiasaan curhat yang akan membangun dan meningkatkan kualitas interpersonal dengan lingkungan sosial yang lebih luas. “Bersahabat dengan anak adalah memungkinkan jika orangtua mau dan mampu mengembangkan empati terhadap suasana hati anak dalam skala yang terkecil sekalipun,” ujar psikolog Tika Bisono MPsi.
Komunikasi yang efektif dapat mendorong terciptanya keterbukaan. Anak akan bersikap terbuka bila ada rasa aman dan nyaman yang terbangun dari kedekatan dengan orangtua dan rasa percaya diri anak. Padahal, kepercayaan diri akan terpupuk jika anak diberi kebebasan yang sesuai haknya, antara lain bebas mengemukakan pendapat, mengekspresikan diri, berasosiasi dan bermusyawarah, hak memiliki privasi dan hak diberi informasi.
“Kebebasan adalah dasar dari sifat mandiri secara emosional, dan ini perlu dipelajari secara aktifpartisipatif,” ungkap pemilik Tibis Sinergi Consultant itu seraya menjelaskan bahwa partisipasi merupakan sebuah ekspresi dari kemampuan anak untuk berpikir dengan caranya sendiri, membagi ide, dan membuat putusan sendiri.
Namun, namanya juga anak-anak, mereka masih sangat hijau sehingga bimbingan dan arahan dari orangtua tetap mutlak dilakukan. Tak kalah penting adalah percontohan dari orangtua. Stephen Montana PhD dari Saint Luke Institute New Hampshire USA, mengemukakan bahwa filosofi becermin (mirroring) merupakan dasar dari pendidikan empati orangtua terhadap anaknya.
Ya, orangtua adalah cermin bagi si anak. Tanpa memandang baik atau buruk, anak akan meniru apa pun perilaku orangtuanya. Untuk itu, para orangtua hendaknya berlomba memperbaiki diri agar menjadi “cermin” yang bening bagi anak-anaknya.
-Bebas tapi Bertanggung Jawab
Untuk menerapkan pola komunikasi efektif, orangtua perlu memahami tahap-tahap perkembangan. Menurut Tika Bisono, setiap tahapan membawa tuntutan-tuntutan “tugas perkembangan” yang harus dipelajari agar tidak menghambat proses perkembangan selanjutnya.
Tahapan tersebut umumnya dilalui dengan urutan yang sama bagi semua anak. Hanya, penerimaannya berbeda, ada yang lebih cepat atau lebih lambat. “Ada perbedaan-perbedaan individual antara anak dalam perkembangannya. Baik secara keseluruhan maupun aspek tertentu, seperti perkembangan intelektual, sosial, afektif, emosional,” papar Tika.
Seiring tumbuh-kembangnya, anak pun “menuntut” kebebasan. Anak-anak punya hak dan kebebasan mengekspresikan rasa senang, ketakutan, marah, atau sedih. Adalah tugas orangtua untuk mengajari anak bagaimana mengekspresikan perasaannya dengan baik dan terkendali.
Empati dan kebebasan tentu ada hubungannya. Terkadang, ada anak yang mengekspresikan kebebasannya dengan marah-marah. Jika orangtua tak berusaha memahami penyebabnya, si anak bisa berubah menjadi ketakutan ketika ekspresi marahnya itu ditekan atau tidak diberi kebebasan.
Nilai lain yang terselip dalam aspek kebebasan adalah rasa tanggung jawab. Tak jarang, orangtua menuruti segala keinginan anak untuk memenuhi “tuntutan” si anak atas kebebasannya itu. Begitu pula dengan dalih kasih sayang, mereka membelikan aneka mainan atau barang yang diinginkan putra- putrinya. Perilaku demikian tentu tidaklah mendidik.
“Sebaiknya orangtua menyeimbangkan antara apa yang dapat dilakukan si anak untuk dirinya sendiri dan memilih apa saja yang boleh diberikan untuk mendukung kebebasannya itu,” ujar Kristin Zolten MA dari Department of Pediatrics, University of Arkansas for Medical Sciences. Seiring meningkatnya kebebasan, berkembang pula pemahaman anak akan tanggung jawab. Ketika dibelikan sepeda oleh orangtuanya, dia belajar bertanggung jawab menjaga sepedanya agar tidak rusak atau hilang.
Michele Borba, Ed.D. pakar psikolog memberi panduan bagi orangtua untuk membangun kecerdasan moral anak, dan Borba menyorot 7 kebajikan utama yang menjadi landasan bagi orangtua, yaitu:Empati – mampu mengidentifikasi dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, Nurani – mengetahui cara yang benar dan bertindak menurut cara tersebut, Kendali diri – mengendalikan pikiran dan tindakan agar tindakan kita sesuai dengan norma-norma yang benar, Rasa hormat – menghargai orang lain dengan memperlakukan mereka dengan hormat, Kebaikan hati – memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, Toleransi – menghormati martabat dan hak-hak semua orang, Adil – memilih untuk berpikiran terbuka dan bertindak berdasarkan prinsip keadilan.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1) Kecerdasan moral merupakan pusat kecerdasan bagi semua manusia yang secara langsung mendasari kecerdasan manusia untuk berbuat sesuatu yang berguna.
2) Kiat-kiat pembentukan kecerdasan moral diawali dari orang tua dengan menanamkan agama sejak dini, mengembangkan kepekaan sosial sejak dini serta memberikan kebebasan kepada anak disertai pertanggungjawabannya.
3.2. Saran-saran
1) Untuk menjaga diri dari perilaku abmoral, hendaknya mulai mengembangkan kiat-kiat pembentukan kecerdasan moral sejak sekarang.
2) Turut serta dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia melalui pengembangan pendidikan moral untuk membentuk pribadi-pribadi yang berbekal moral yang terpuji.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul. 2002. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
1.1. Latar Belakang Masalah
Kerap kali terdengar orang tua memperbincangkan masalah-masalah kenakalan remaja yang merebak di mana-mana, lalu mereka itu saling memberikan komentar yang beraneka ragam. Seperti ”memang zaman sekarang ini anak-anak itu susah diatur” dan ”Senangnya merokok. Kalau pergi dengan teman-temannya tidak kenal waktu”, dan lain-lain.
Kalau anak-anak sampai berperilaku demikian itu apa sebabnya? Siapa yang harus bertanggung jawab untuk kerancuan dan porak porandanya nilai-nilai luhur budaya yang baik pada zaman generasi sebelumnya? Saling menuding dan menyalahkan tidak akan membuat mereka menjadi lebih baik, atau berubah baik. Hanya dengan mawas diri, berani melakukan introspeksi, koreksi diri sendiri dan mencari sumber kesalahan kemudian menyelesaikannya, maka akan mendapatkan jalan keluarnya.
Untuk mencegah berlarutnya permasalahan tersebut, perlu adanya kesadaran dari semua pihak yang terkait dengan melakukan tindakan proaktif, yaitu mensosialisasikan pendidikan moral ke dalam masyarakat agar anak-anak mendapatkan pendidikan moral. Sehingga anak memiliki kecerdasan moral yang dapat menunjang pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai nilai moral yang tinggi.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk mengarahkan pembahasan lebih efektif dan sistematis, maka memungkinkan untuk dibuatkan susunan sub-sub pembahasan, yakni sebagai berikut:
a. Pengertian Kecerdasan
Pengertian Moral
c. Pengertian Kecerdasan Moral
Permasalahan Moral
Situasi Perkembangan Moral pada Anak
Langkah-langkah Membangun Kecerdasan Moral pada Anak
1.3. Tujuan
Setelah mengetahui perumusan masalah di atas, dapat dipahami inti dari pembahasan makalah ini, yakni sebagai berikut:
Untuk mengetahui pengertian kecerdasan
Untuk mengetahui pengertian moral
Untuk memahami makna kecerdasan moral
Untuk lebih mempertajam mengenai permasalahan moral
Membantu memperjelas situasi perkembangan moral pada anak
Memberikan pedoman untuk membentuk kecerdasan moral pada anak.
1.3. Kegunaan Pembuatan Makalah
-Kegunaan dasar : dapat membekali penulis dengan pengetahuan mengenai pentingnya memiliki kecerdasan moral dalam kehidupan sehari-hari.
-Kegunaan umum: sebagai sarana untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan sekaligus turut serta dalam pembentukan pribadi-pribadi yang hebat karena kecerdasan moralnya dalam rangka mewujudkan kehidupan dunia yang adil dan damai.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian kecerdasan
Kecerdasan (dalam bahasa inggris disebut intelegence dan bahasa arab disebut al-dzaka) menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Dalam arti, kemampuan (al-qudroh) dalam memahami sesuatu secara cepat dan sempurna. Begitu cepat penangkapannya itu sehingga Ibnu Sina, seorang psikolog falsafi, menyebut kecerdasan sebagai kekuatan intuitif (al-hads).
Binet ketika mengadakan tes kecerdasan individual menekankan pada masalah penalaran, imajinasi, wawasan (insight), pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang tercakup dalam tingkah laku kecerdasan. Namun pada penelitian lain, pengukuran kecerdasan ditekankan pada kemampuan penyesuian diri secara cepat dan efektif terhadap situasi yang baru. Penelitian yang berbeda memberikan penekanan pada kemampuan memecahkan masalah-masalah abstrak. Berdasarkan penelitian di atas, J.P. Chaplin kemudian merumuskan tiga definisi kecerdasan, yaitu; (1) kemampuan menghadapi dan meysuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (2) kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol, dan megritik; (3) kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.
Dalam pengertian yang lebih luas, William Stern, yang dikutip oleh Crow dan Crow, mengemukakan bahwa intelegensi berarti kapasitas umum dari seorang individu yang dapat dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi tuntutan kebutuha-kebutuhan baru, keadaan ruhaniah secara umum yang dapat disesuaikan dengan problema-problema dan kondisi-kondisi yang baru di dalam kehidupan. Pengertian ini tidak hanya menyangkup dunia akademik, tetapi lebih luas, menyangkut kehidupan non-akademik, seperti masalah-masalah artistik dan tingkah laku sosial.
Pada mulanya, kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan struktur akal (intellect) dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanya bersentuhan dengan aspek-aspek kognitif (al-majal al-ma’rifi). Namun pada perkembangan berikutnya, disadari bahwa kehidupan manusia bukan semata-mata memenuhi struktur akal, melainkan terdapat stuktur kalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk menumbuhkan aspek-aspek afektif (al-majal al-infi’ali), seperti kehidupan emosional, moral, spiritual, dan agama. Karena itu, jenis-jenis kecerdasan pada diri seseorang sangat beragam seiring dengan kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya. Topik ini lebih memfokuskan pada penelaahan kecerdasan moral.
2.2. Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata latin ‘mos’ (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas, merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Menurut Zakiah Daradjat, dalam bukunya yang berjudul “Peranan Agama dalam Kesehatan Mental mengatakan bahwa moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan atau keinginan pribadi.
Dalam Islam moral merupakan terjemahan dari kata akhlak. Namun demikian moral dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan atau kelakuan yang bersumber dari nilai-nilai masyarakat, sedangkan akhlak merupakan suatu kelakuan atau sikap yang dimiliki oleh seseorang yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Di kalangan para ulama terdapat berbagai pengertian tentang apa yang dimaksud moral/akhlak. Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa moral/akhlak mengacu kepada perbuatan yang bersifat manusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai dari sekedar perbuatan alami seperti makan, tidur, dan sebagainya.
Pengertian moral secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih, bahwa moral/akhlak adalah suatu perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan pertimbangan dan pertimbangan lagi.
Berdasarkan definisi di atas Abuddin Nata, merumuskan bahwa perbuatan moral/akhlak harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Perbuatan tersebut telah mendarah daging atau mempribadi, sehingga menjadi identitas orang melakukannya.
Perbuatan tersebut dilakukan dengan mudah, gampang serta tanpa memerlukan pikiran lagi. Sebagai akibat dari telah mempribadinya perbuatan tersebut.
Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri bukan karena paksaan dari luar. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sebenarnya bukan berpura-pura, sandiwara, atau tipuan dan perbuatan tersebut atas dasar niat karena Allah swt.
Dalam hubungannya antara ajaran agama khususnya Islam dan moral ini, Zakiah Daradjat berpendapat bahwa jika kita ambil ajaran agama, maka moral adalah sangat penting bahkan yang terpenting di mana kejujuran, keadilan, kebenaran dan pengabdian adalah di antara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.
Hal ini sejalan pula dengan pendapat Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa: “Inti ajaran agama adalah moral yang bertumpuh pada keyakinan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (Habl minallah) dan keadilan serta berbuat baik dengan sesama manusia (Habl minannaas).”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa moral dalam ajaran Islam merupakan terjemahan dari kata akhlak yang berarti sifat terpuji yang merupakan pantulan berupa perilaku, ucapan dan sikap yang ditimbulkan oleh seseorang atau dengan kata lain moral adalah amal saleh dan dalam mendidik moral anak orang tua harus memberikan tauladan yang baik sebab moral anak terbentuk dengan meniru bukan dengan nasehat atau petunjuk.
2.3. Pengertian Kecerdasan Moral
Ketika disebut istilah “kecerdasan moral” maka nama yang muncul dibelakangnya adalah Robert Coles, seorang psikiater anak dan peneliti pada Harvard university Health Services dan profesor psikiatri serta ilmu-ilmu kemanusiaan medis pada Harvard Medical School. Karya Coles yang berkenaan dengan kecerdasan moral adalah The Moral Intelligence of Children: How to Raise a Moral Child tahun 1997. Isinya lebih banyak memuat kasus-kasus atau cerita-cerita yang berkaitan dengan kehidupan moral, walaupun di akhir ceritanya Coles mencoba menarik konklusi tentang kecerdasan moral. Coles mengakui bahwa pertama kali ia mendengar istilah “kecerdasan moral” dari Rustin Mc Intosh, seorang dokter anak yang selalu memperhatikan sikap pasiennya yang baik hati, lemah lembut, memikirkan orang lain, dan mampu mengarahkan dirinya sendiri dengan baik. Coles kemudian tertarik untuk mengembangkan jenis kecerdasan ini melalui beberapa penelitian yang dilakukan selama lebih dari 30 tahun.
Coles secara tegas tidak pernah mendefinisikan term moral secara khusus dalam karyanya. Namun ia mengemukakan bahwa kecerdasan moral seolah-olah bidang ketiga dari kegiatan otak (setelah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional) yang berhubungan dengan kemampuan yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah,dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual pikiran manusia. Indikator kecerdasan moral adalah bagaimana seseorang memiliki pengetahuan tentang moral yang benar dan yang buruk, kemudian ia mampu menginternalisasikan moral yang benar ke dalam kehidupan nyata, dan menghindarkan diri dari moral yang buruk. Orang yang baik adalah orang yang memiliki kecerdasan moral, sedangkan orang yang jahat merupakan orang yang ‘idiot’ moral.
Para psikolog, psikiater, dan konselor sering sekali berbicara tentang anak yang cerdas atau anak yang kacau emosinya. Tetapi mereka banyak melupakan bagian lain dari sisi kehidupan kliennya yang baik hatinya atau memiliki perjalanan hidup yang panjang menuju kejahatan. Mereka mampu mengarahkan dan menumbuhkan kecerdasan intelektual anak, namun mereka melupakan fungsi baik-buruknya penumbuhan kecerdasan itu, sehingga seringkali didengar istilah perampok berdasi, pencuri legal karena perbuatannya tidak dapat dijerat oleh hukum, dan istilah-istilah minor lainnya. Seorang yang ahli di bidang komputer, dengan kecerdasan intelektualnya, ia mampu mengakses data bank di seluruh dunia, dan dapat mentransfer uang dari rekening satu ke rekening lain secara mudah. Apakah sosok seperti ini yang diharapkan dari perjalanan psikologi?
Kecerdasan moral tidak dapat dicapai dengan menghafal atau mengingat kaidah atau aturan yang dipelajari di dalam kelas, melainkan membutuhkan interaksi dengan lingkungan luar. Ketika seorang anak telah berinteraksi dengan lingkungan maka dapat diperhatikan bagaimana sikap yang diperankan, apakah ia memiliki sikap yang sopan, penuh belas kasih, adanya atensi, tidak sombong atau angkuh, egois atau mementingkan diri sendiri, dan sejumlah sikap lainnya.
2.4. Permasalahan Moral
Sebelum membicarakan tentang meningkatkan kecerdasan moral, perlu diketahui dulu apakah itu yang termasuk di dalam permasalahan moral. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, dan konsep moral adalah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Sementara yang menentukan pola perilaku tersebut diharapkan dari seluruh anggota kelompok.
Petuah atau pendidikan sopan-santun, tatakrama, disiplin, budi pekerti, pendidikan keluarga dan lain sebagainya itu mendasari perilaku dan sikap penampilan serta sikap mental manusia Indonesia. Tetapi hal tersebut sebenarnya sudah banyak yang mengalami perubahan sejalan dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman. Namun demikian masih banyak pula yang mempunyai nilai-nilai luhur dan baik untuk dipertahankannya.
Contohnya dulu busana wanita adalah kain-kebaya, baju bodo, sarung dan lain sebagainya, sekarang hampir semua wanita memakai gaun atau celana sebagai pakaian harian mereka, jadi perubahan ini dapat diterima dan mengubah kebudayaan yang lama. Sedangkan bagi berbusana dengan model buka-bukaan atau mempertontonkan sebagai tubuhnya yang ”seharusnya” terlindung, untuk orang Indonesia sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra.
Perilaku amoral atau nonmoral lebih disebabkan ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok. Dalam hal ini ada empat pokok masalah utama:
1. Mempelajari apa yang diharapkan masyarakat dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan dan peraturan. Misalnya masyarakat diharuskan mematuhi peraturan lalu lintas, juga harus mematuhi undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang terdapat di dalam undang-undang. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi. Tetapi ketika melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, orang tersebut bisa lolos dari jaring hukum, maka secara tidak langsung membuat moral dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat itu merosot. Nilai-nilai kebudayaan yang luhur menjadi luntur, karena hukum yang berlaku secara semestinya tidak dapat ditegakkan.
2. Mengembangkan hati nurani. Dalam hal ini terkait erat dengan kecerdasan jasmani spiritual dan kecerdasan emosi. Anak hendaknya sejak kecil sudah mendapat contoh atau teladan dari perilaku orang tuanya. Seperti adil, bijaksana, peduli terhadap orang lain dan lingkungan, mempunyai rasa welas asih, dapat berempati dan membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Kepada anak diajarkan melakukan hal-hal yang baik sebagai rasa syukur kepada Allah YME atas kemurahan dan anugerahNya, serta segala nikmat yang diperolehnya.
3. Belajar mengakui perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Kalau anak melakukan kesalahan hendaknya mendapat teguran atas kesalahannya, bukan langsung marah-marah dan menghukumnya. Yang benar adalah menunjukkan kesalahannya untuk kemudian diberi tahu yang benar itu bagaimana dan cara memperbaikinya. Kalau memang anak terlalu bandel, barulah diberikan hukuman yang positif atau yang membangun.
4. Mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial untuk belajar apa saja yang diharapkan masyarakat. Anak dibiarkan bergaul dengan sebayanya akan tetapi juga harus diawasi, jangan sampai anak bergaul dengan kelompok yang berperilaku antisosial atau anak-anak nakal berandalan.
2.5. Situasi Perkembangan Moral pada Anak
Perkembangan moral terjadi dalam dua fase yang berbeda namun saling berhubungan. Fase pertama perkembangan perilaku moral dan perkembangan konsep moral. Perkembangan perilaku moral itu dapat diperoleh sejalan dengan bertambahnya usia, pendidikan dan pengalamannya, yang berupa hasil dari coba-coba, pendidikan langsung dan identifikasi.
Fase kedua adalah fase belajar tentang konsep moral atau prinsip-prinsip benar dan salah. Konsep moral itu akan berkembang sejalan dengan perkembangan, pendidikan, bertambahnya pengetahuan dan cara berfikir anak. Dengan berkembangnya mental anak, maka anak mampu membedakan benar dan salah, serta bagaimana supaya anak dapat menggeneralisasi atau mentransfer prinsip tingkahlaku dari satu situasi ke situasi yang lain.
Bagi anak yang mendapatkan pendidikan moral yang sesuai dengan tuntutan komunitasnya, akan merasa nyaman dan tidak resah karena tidak mengalami penolakan dari lingkungannya. Dan ini sangat menunjang konsep diri, rasa percaya diri sehingga anak tidak akan menunjukkan sikap antisosial dan emosinya pun akan menjadi lebih stabil.
Mengenai pengembangan kecerdasan moral, erat hubungannya dengan penerapan disiplin pada anak. Anak yang mempunyai kecerdasan moral tinggi, akan lebih disiplin dan mempunyai rasa tanggung jawab lebih besar, karena setiap pelanggaran merupakan sesuatu yang ”salah” atau ”tidak baik” menurut ukuran etika moralnya. Dengan demikian anak cenderung dapat dihindarkan dari perbuatan-perbuatan yang kurang baik atau tidak senonoh.
- Perkembangan moral menurut teori belajar sosial
Menurut teori ini perkembangan moral merupakan proses yang dipelajari selama proses interaksi sosial perseorangan dengan orang lain. Remaja akan berkembang moralnya dengan baik apabila dalam sejarah kehidupan ia dapat meniru orang lain di lingkungannya.
-Tahapan perkembangan moral
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Menurut Piaget ada beberapa tahapan perkembangan moral yang terjadi pada manusia secara umum dapat di kelompokkan sebagai berikut:
Perkembangan moral pada anak-anak
Perkembangan moral pada masa kanak-kanak masih sangat rendah, karena perkembangan intelektual anak belum matang, dimana ia belum mampu mempertimbangkan segala sesuatu yang akan terjadi akibat dari kelakuannya.
Karena tidak mengerti masalah standar moral, maka ia hanya belajar “bagaimana” bertindak tanpa mengetahui “mengapa”, sekalipun pada anak-anak yang tergolong cerdas. Anak yang dilarang melakukan sesuatu, 1 atau 2 hari ia akan lupa akan larangan itu, sehingga kita membutuhkan waktu yang panjang untuk menciptakan moral yang baik pada anak.
Menurut “Piaget” bahwa moralitas melalui paksaan, moral anak otomatis mengikuti peraturan tanpa berfikir atau menilai, dan cenderung menganggap orang dewasa yang berkuasa sebagai maha kuasa. Yang paling penting menurut Piaget bahwa anak menilai suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan hukuman bukan pada nilai moralnya.
Perkembangan moral pada masa akhir kanak-kanak.
Menurut Piaget, antara usia 5-12 tahun, konsep anak mengenai keadilan, salah dan benar sudah berubah. Anak mulai mempertimbangkan keadaan khusus dan akibat social terhadap pelanggaran yang dilakukan, bukan lagi berpatokan pada hukuman dan aturan. Contoh: Pada masa anak-anak, jika berbohong akan dimarah dan dipukuli. Akan tatapi perkembangan moral pada masa akhir anak-anak bahwa berbohong berakibat buruk pada standar moral dan lingkungannya dan pada akhirnya tidak semua perbuatan bohong itu buruk, dalam beberapa situasi berbohong bisa dibenarkan.
Perkembangan moral pada masa remaja.
Kohlberg mengatakan “Moralitas pasca konvensional” yaitu tahap menerima dari sejumlah prinsip yang terdiri dari 2 tahap yaitu:
Piaget mengatakan “ Tahap pelaksanaan formal” dalam artian bahwa remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan hipotesis dan proposisi.
- Individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam sebuah aturan sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar moral.
- Individu menyesuaikan diri dengan atandar social dan aturan moral yang ada untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri.
Lawrence Kohlberg dalam studi panjangnya menyebutkan ada enam tahap perkembangan moral dalam diri manusia. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi oleh hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg. Tahapan-tahapan tersebut ialah:
Orientasi pada hukuman dan ganjaran serta pada kekuatan fisik dan material. Akibat fisik suatu tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan itu.
Orientasi Hedonitas dengan suatu pandangan instrumental tentang hubungan-hubungan manusia. Gagasan mengenai timbal-balik mulai berkembang, tetapi dengan suatu tekanan atas pertukaran jasa yakni, ”Jika anda menggaruk punggung saya, maka saya akan menggaruk punggung anda”, dan bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih dan keadilan.
Orientasi ”Anak manis”; berusaha mempertahankan harapan-harapan dan memperoleh persetujuan dari kelompoknya yang langsung; moralitas ditentukan oleh ikatan individu dalam hubungan. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Perilaku kerap kali dinilai menurut niat, ungkapan ”ia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan dengan berperilaku ”baik”.
Orientasi pada otoritas, hukum dan kewajiban untuk mempertahankan tata tertib yang tetap (entahlah peraturan itu bersifat sosial ataupun religius) yang dianggap sebagai suatu nilai utama. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya.
Orientasi kontrak-sosial dengan penekanan atas persamaan derajat dan kewajiban timbal balik di dalam suatu tatanan yang ditetapkan secara demokratis. Perbuatan yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Terlepas dari apa yang disepakati secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal ”nilai” dan ”pendapat” pribadi. Hasilnya adalah suatu tekanan atas ”sudut pandangan legal”, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hukum, berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan sosial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka ”hukum dan ketertiban”, gaya tahap 4.
Moralitas prinsip suara hati yang individual dan yang memiliki sifat komprehensif logis dan universalitas. Nilai tertinggi diberikan pada hidup manusia, persamaan derajat dan martabat. Orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemahaman logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas, kategoris imperatif).
Tahap 1 dan 2 yang khas bagi anak-anak muda dan anak-anak nakal, dilukiskan sebagai tahap ”pramoral” sebab putusan sebagian besar dibuat atas kepentingan diri dan pertimbangan-pertimbangan material.
Tahap 3 dan 4 yang berorientasi pada kelompok merupakan tahap ”konvensional”, pada tingkat inilah kebanyakan orang dewasa bertingkah laku.
Dua tahap akhir yang mengacu pada ”prinsip” merupakan ciri khas dari 20 hingga 25 persen populasi orang dewasa, dengan kemungkinan 5 hingga 10 persennya mencapai tahap 6.
Masing-masing tahap itu sendiri dirumuskan atas dasar nilai-niai atau hal-hal yang tersangkut dalam putusan moral. Salah satu hal adalah nilai yang dikenakan pada kehidupan.
Pada tahap 1, hidup dinilai dalam pengertian kekuatan atau perolehan dari pribadi yang terlibat; pada tahap 2, hidup dinilai sejauh berguna untuk memenuhi semua kebutuhan individu tersebut atau orang lainnya.
Pada tahap 3, hidup dinilai dari segi hubungan individu dengan orang lain atau penilaian terhadapnya; pada tahap 4, hidup dinilai dalam pengertian hukum soaial atau religius.Hanya pada tahap 6-lah setiap hidup dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya sendiri, terlepas dari semua pertimbangan lain.
Faktor lain yang menentukan tahap berbagai pertimbangan adalah motivasi untuk bertindak secara moral. Pada tahap yang paling rendah orang bertindak untuk menghindari hukuman atau untuk bertukar kebaikan; pada tingkat yang paling tinggi untuk menghindari penghukuman diri.
Pola berpikir tahap 2 dalam tindakan secara moral tampak pada Jimmy. Ketika anak berusia 13 tahun itu ditanyai apakah seorang anak (laki-laki) seharusnya melaporkan kepada ayahnya tentang kelakuan buruk saudaranya, ia menjawab, ”Menurut saya, sebaiknya ia mendiamkan saja hal itu. Mungkin anak itu juga ingin berbuat demikian. Bila ia mengadukan Alex, mungkin Alex akan mengadukannya juga.” Jawaban tahap 3 atas pertanyaan yang sama mungkin dapat berbunyi bahwa anak itu seharusnya mengatakan kelakuan itu kepada ayahnya sebab ayahnya percaya kepadanya – atau ia seharusnya tidak mengatakan hal itu sebab Alex mempercayainya.
Apa yang mempercepat kemajuan dari suatu tahap ke tahap lainnya, dan mengapa sejumlah orang mencapai tahap yang mengacu pada ”prinsip”, sementara yang lainnya tidak?
Pertimbangan moral pertama-tama merupakan suatu fungsi dari kegiatan rasional. Faktor-faktor afektif seperti kemampuan untuk mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah turut berperan dalam pertimbangan moral, tetapi situasi-situasi moral ditentukan secara kognitif oleh pertimbangan pribadi. Karena itu, perkembangan moral merupakan suatu hasil kemampuan yang semakin berkembang untuk memahami kenyataan sosial atau untuk menyusun dan mengintegrasikan pengalaman sosial. Satu syarat yang perlu, tetapi yang tidak mencukupi, untuk moralitas yang mengacu pada prinsip adalah kemampuan untuk berpikir secara logis (yang ditampakkan oleh tahap-tahap kegiatan formal)
Faktor-faktor penentu utama, yang didapat dari pengalaman bagi perkembangan moral, tampaknya berupa jumlah dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk berjumpa dengan sudut pandang yang lain. Dengan demikian, anak-anak dari golongan menengah dan yang populer biasanya maju lebih jauh dan lebih cepat daripada anak-anak dari golongan bawah dan yang tersisih secara sosial.
Penelitian Kohlberg memperlihatkan bahwa meskipun keluarga memegang peranan penting, namun akibat-akibat terhadap proses perkembangan, pertama-tama disebabkan oleh tersedianya kesempatan untuk mengambil peran yang diberikan juga oleh kelompok sebaya, sekolah, dan masyarakat yang lebih luas.
2.6. Langkah-langkah Membangun Kecerdasan Moral pada Anak
-Pembentukan Moral Anak Diawali dari Orang Tua
Pendidikan anak dalam lingkungan keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak, untuk mencapai kedewasaan atau dapat disebut mencapai dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak”. Karena dalam keluarga tempat fasilitas anak untuk tumbuh dan berpola serta bertingkah laku. Dan dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak” karena dalam lingkungan keluargalah seorang anak tumbuh dan bertingkah laku sesuai dengan keadaan lingkungan keluarga, yang berlangsung secara berkesinambungan menuju tingkat kedewasaan. Strategi yang baik dalam proses pembentukan moral adalah strategi yang dapat melahirkan metode yang baik pula. Sebab metode merupakan suatu cara dalam pelaksanaan strategi.
Selanjutnya dalam mendidik anak ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain:
1. Metode Teladan
Al-Qur’an dengan tegas menandaskan pentingnya contoh teladan, Allah menyuruh kita mempelajari tindak tanduk Rasulullah Saw. dalam QS. Al-Ahzab : 21 yang berbunyi :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Terjemahnya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Teladan yang baik dari orang tua dibutuhkan pada hal-hal berikut :
Konsekuen dalam melaksanakan sikap terpuji dan akhlak mulia karena satu kali saja berbuat salah di depan anak, maka terhapuslah semua yang baik di matanya.
Sebagian besar akhlak yang terpuji didapati anak dari contoh dan teladan orang tuanya. Sifat dermawan, berani, amanah, menghormati orang lain, dll adalah sifat yang didapat anak dari sikap orang tuanya yang ia lihat langsung.
Sampai usia empat tahun, anak menjadikan orang tuanya sebagai teladan utama.
2. Metode Nasehat
Memberikan pengertian sangat penting bagi perkembangan anak karena dengan pengertian yang akan menjadikan dirinya memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak dilakukan. Namun seringkali anak ingin mencoba untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan orang tua. Oleh karena itu, perbuatannya perlu ditunjukkan atau diberi peringatan. Jika peringatannya tidak diperhatikan dan selalu melakukan tanpa mempedulikan orang atua atau lingkungan keluarga, orang tua perlu memperlakukan tindakan dengan mencegah perbuatannya itu, agar tidak diulangi lagi, sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman : 13.
Terjemahnya :
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Sebagai orang tua, saat memberikan pengertian terhadap sesuatu yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan hendaklah benar-benar kita terapkan juga, dan jangan sampai melanggarnya, apalagi kalau anak melihatnya. Begitu juga dalam memberikan peraturan dan perintah hendaknya melihat kondisi dan sesuai dengan masa, usia perkembangannya. Karena kita tidak memaksakan sesuatu sekehendak diri kita, melainkan melihat, memperhatikan kondisi perkembangannya.
3. Metode Pembiasaan
Metode pembiasaan sangat penting untuk diterapkan karena pembentukan moral dan rohani tidaklah cukup tanpa pembiasaan sejak dini. Untuk terbiasa hidup disiplin, teratur, tolong menolong dalam kehidupan sosial memerlukan latihan yang kontinu setiap hari dan dibarengi dengan keteladanan dan panutan, karena pembiasaan tanpa dibarengi contoh tauladan akan sia-sia.
4. Metode Kisah
Dalam Islam metode kisah mempunyai fungsi edukatif tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian selain bahasa. Anak-anak menyukai mendengarkan cerita karena daya hayal mereka luas dan karena kisah atau cerita bisa menggambarkan suatu peristiwa seperti nyata. Menceritakan kisah-kisah para nabi akan dapat menggugah hati anak sebab kisah-kisah para nabi memuat nilai-nilai akhlak yang terpuji yang ditampilkan dengan cara menarik baik itu akhlak yang dimiliki para rasul atau kesabaran dan perjuangannya dalam menyampaikan risalah.
5. Hadiah dan hukuman
Menggemarkan berbuat baik dan peringatan dari perbuatan jahat adalah dua hal yang erat hubungannya dalam Al-Qur’an, dan ini cukup agar orang menjadi beriman. Orang yang tidak terpengaruh oleh apa yang Allah SWT. janjikan bagi perbuatan baik dan hukuman dari perbuatan jahat, maka Allah SWT. akan memberikan azab-Nya di dunia dan akhirat. Seperti halnya imbalan bagi perbuatan baik, begitu pula hukuman merupakan salah satu sarana pendidikan. Di antara hukuman tersebut misalnya pukulan merupakan sarana mendidik anak agar tidak malas shalat.
Namun yang harus diperhatikan ornag tua adalah bahwa hadiah dan hukuman itu tidak menjadikan anak lupa apa yang dilakukan dan diperbuatnya, hanya memperhatikan hadiahnya. Di sinilah dibutuhkan peran orangtua bagaimana agar dalam memberikan hadiah yang menjadikan baik bagi anak.
- Tanamkan Moral Agama Pada Anak.
Rasulullah mengajarkan kepada para istri-istri sahabat untuk selalu membacakan ayat-ayat suci Al-Quran semenjak anak-anak mereka masih dalam kandungan. Menurut sebuah majalah tentang ibu dan anak hampir 80% tingkat kecerdasan anak akan meningkat jika sang ibu selalu membaca dan memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al-Quran kepada sang anak, karena nantinya akan membentuk jiwa seorang anak yang memiliki nilai kepribadian yang positif. Jadi tergantung bagaimana keseharuian dari si orang tua itu sendiri dalam mendidik anaknya, jika si orang tua memiliki sifat religi maka akan mempengaruhi si anak atau sebaliknya.
Agama berperan penting bagi perkembangan moral anak. Untuk itu, menanamkan agama pada anak sejak dini sangat penting. Anak juga akan memahami agama yang dipeluknya secara jelas. Siapa pun pasti ingin melihat anaknya tumbuh menjadi orang sukses dan berakhlak mulia. Butuh kerja keras untuk mewujudkan keinginan tersebut. Tentunya mustahil kalau kita selaku orangtua hanya berpangku tangan, menunggu sampai saat itu tiba. Orangtua justru dituntut secara aktif membantu anaknya mencapai apa yang menjadi cita-citanya dan cita-cita mereka. Selain ilmu pengetahuan, pemahaman agama juga harus menjadi perhatian utama untuk mencetak anak berprestasi hebat dan mulia.
Jika konsep keagamaan telah diajarkan kepada anak sejak dini, kelak setelah dewasa anak akan mengetahui bahwa agama atau keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi untuk menciptakan kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim diri sebagai penyelamat umat manusia, dan mengajarkan kebaikan kepada seluruh umatnya.
Pendidikan agama juga sangat penting karena bisa menumbuhkan sikap ideal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Dalam cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan mengenai dunia, pendidikan agama bagi anak menjadi agen yang akan mempersiapkan anak untuk memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka, kelak ketika mereka semakin dewasa. Selain mengajarkan konsep beragama, anak juga harus dikenalkan dengan hak kebebasan beragama.
Dialog Antar Agama negaranegara Asia-Eropa (ASEM Dialog Interfaith) beberapa tahun lalu, menghasilkan deklarasi yang menyepakati upaya bersama untuk menjaga perdamaian dan toleransi di antara umat manusia, mempromosikan perlindungan HAM, menentang digunakannya kekerasan, menentang penggunaan agama untuk merasionalsasi kekerasan, dan membangun harmoni di antara komunitas internasional.
Deklarasi ini juga merekomendasikan adanya studi antaragama sejak sekolah lanjutan pertama yang bertujuan menumbuhkan pemahaman dan penghargaan antarpemeluk agama yang berbeda. Rekomendasi Deklarasi tersebut menjadi sangat penting dalam konteks Indonesia baik untuk orangtua ataupun anak-anak. Agar anak bisa mendalami agama yang dianutnya, pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap dan memahami pluralitas bermasyarakat.
Pendidikan agama semestinya diarahkan untuk mengajak anak menerima dan terbuka terhadap pluralisme. Dengan begitu, anak memiliki kesempatan untuk mencerna rasa keberagamaannya dengan bahasanya sendiri dan menumbuhkan kesadaran keberagamaan itu di tengah-tengah komunitas lain di luarnya. Untuk maksud tersebut, sejak awal anak sudah diperlihatkan terhadap perbedaan-perbedaan melalui lapangan konkret, seperti adanya masjid, gereja, pura, wihara.
-Mengembangkan Kepekaan Sosial Sejak Dini
Kurangnya empati kerap menyulut konflik. Komunikasi efektif membantu membangun empati anak sejak dini. Bagaimana membangun empati pada anak sejak dini?
Empati merupakan sikap atau perilaku memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara. Egois, cuek, dan tidak peduli merupakan cerminan dari ketiadaan empati, dan ini sering kali menjadi penyulut konflik.
Psikolog dari Universitas Airlangga, Iwan Wahyu Hidayat, mengungkapkan bahwa empati berbeda dengan simpati yang lebih merujuk pada ekspresi ataupun tindakan mengasihani seseorang. Menurut dia, empati merupakan upaya memahami posisi seseorang dan apa yang dirasakannya. Dengan kata lain, empati lebih dari sekadar rasa kasihan, karena di dalamnya terdapat makna untuk menghargai dan menghormati orang di sekitarnya. Itulah sebabnya, bagi para orangtua, membangun pemahaman anak terhadap empati lebih penting artinya dibandinglan sekadar memberikan materi kepada orang lain (misalnya pada pengemis) hanya karena kasihan. Caranya bisa beragam dan akan lebih mengena bila si anak mengalaminya secara langsung.
Misalnya, merayakan ulang tahun bersama anak-anak panti asuhan, membagikan sembako pada para pengungsi bencana alam di tenda-tenda pengungsian, ataupun menyumbangkan alat baca-tulis pada anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan. Pada dasarnya, setiap manusia dibekali sifat welas asih untuk saling membantu dan menyayangi antara sesama manusia, sesama makhluk hidup dan lingkungannya. Melalui kegiatan sosial tersebut, anak tidak hanya melihat potret kehidupan orang lain, tetapi belajar untuk peduli dan memahami bahwa banyak anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Dengan begitu, empati dan kepekaan sosialnya dapat terasah. Perlu diingat, empati amat erat kaitannya dengan kepekaan atau kecerdasan sosial sehingga perlu ditanamkan sejak kecil.
Kewajiban ini terletak di pundak orangtua selaku penanggung jawab penuh atas tumbuh-kembang putra-putrinya. Komunikasi efektif antara orangtua-anak begitu kerap didengungkan. Tentu bukan tanpa alasan, sebab cara orangtua membangun komunikasi dan hubungan dengan anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial emosional si anak dan terbawa hingga dewasa kelak. Untuk itu, orangtua harus menciptakan kedekatan dengan buah hatinya dari segala aspek, misalkan melalui kebiasaan curhat yang akan membangun dan meningkatkan kualitas interpersonal dengan lingkungan sosial yang lebih luas. “Bersahabat dengan anak adalah memungkinkan jika orangtua mau dan mampu mengembangkan empati terhadap suasana hati anak dalam skala yang terkecil sekalipun,” ujar psikolog Tika Bisono MPsi.
Komunikasi yang efektif dapat mendorong terciptanya keterbukaan. Anak akan bersikap terbuka bila ada rasa aman dan nyaman yang terbangun dari kedekatan dengan orangtua dan rasa percaya diri anak. Padahal, kepercayaan diri akan terpupuk jika anak diberi kebebasan yang sesuai haknya, antara lain bebas mengemukakan pendapat, mengekspresikan diri, berasosiasi dan bermusyawarah, hak memiliki privasi dan hak diberi informasi.
“Kebebasan adalah dasar dari sifat mandiri secara emosional, dan ini perlu dipelajari secara aktifpartisipatif,” ungkap pemilik Tibis Sinergi Consultant itu seraya menjelaskan bahwa partisipasi merupakan sebuah ekspresi dari kemampuan anak untuk berpikir dengan caranya sendiri, membagi ide, dan membuat putusan sendiri.
Namun, namanya juga anak-anak, mereka masih sangat hijau sehingga bimbingan dan arahan dari orangtua tetap mutlak dilakukan. Tak kalah penting adalah percontohan dari orangtua. Stephen Montana PhD dari Saint Luke Institute New Hampshire USA, mengemukakan bahwa filosofi becermin (mirroring) merupakan dasar dari pendidikan empati orangtua terhadap anaknya.
Ya, orangtua adalah cermin bagi si anak. Tanpa memandang baik atau buruk, anak akan meniru apa pun perilaku orangtuanya. Untuk itu, para orangtua hendaknya berlomba memperbaiki diri agar menjadi “cermin” yang bening bagi anak-anaknya.
-Bebas tapi Bertanggung Jawab
Untuk menerapkan pola komunikasi efektif, orangtua perlu memahami tahap-tahap perkembangan. Menurut Tika Bisono, setiap tahapan membawa tuntutan-tuntutan “tugas perkembangan” yang harus dipelajari agar tidak menghambat proses perkembangan selanjutnya.
Tahapan tersebut umumnya dilalui dengan urutan yang sama bagi semua anak. Hanya, penerimaannya berbeda, ada yang lebih cepat atau lebih lambat. “Ada perbedaan-perbedaan individual antara anak dalam perkembangannya. Baik secara keseluruhan maupun aspek tertentu, seperti perkembangan intelektual, sosial, afektif, emosional,” papar Tika.
Seiring tumbuh-kembangnya, anak pun “menuntut” kebebasan. Anak-anak punya hak dan kebebasan mengekspresikan rasa senang, ketakutan, marah, atau sedih. Adalah tugas orangtua untuk mengajari anak bagaimana mengekspresikan perasaannya dengan baik dan terkendali.
Empati dan kebebasan tentu ada hubungannya. Terkadang, ada anak yang mengekspresikan kebebasannya dengan marah-marah. Jika orangtua tak berusaha memahami penyebabnya, si anak bisa berubah menjadi ketakutan ketika ekspresi marahnya itu ditekan atau tidak diberi kebebasan.
Nilai lain yang terselip dalam aspek kebebasan adalah rasa tanggung jawab. Tak jarang, orangtua menuruti segala keinginan anak untuk memenuhi “tuntutan” si anak atas kebebasannya itu. Begitu pula dengan dalih kasih sayang, mereka membelikan aneka mainan atau barang yang diinginkan putra- putrinya. Perilaku demikian tentu tidaklah mendidik.
“Sebaiknya orangtua menyeimbangkan antara apa yang dapat dilakukan si anak untuk dirinya sendiri dan memilih apa saja yang boleh diberikan untuk mendukung kebebasannya itu,” ujar Kristin Zolten MA dari Department of Pediatrics, University of Arkansas for Medical Sciences. Seiring meningkatnya kebebasan, berkembang pula pemahaman anak akan tanggung jawab. Ketika dibelikan sepeda oleh orangtuanya, dia belajar bertanggung jawab menjaga sepedanya agar tidak rusak atau hilang.
Michele Borba, Ed.D. pakar psikolog memberi panduan bagi orangtua untuk membangun kecerdasan moral anak, dan Borba menyorot 7 kebajikan utama yang menjadi landasan bagi orangtua, yaitu:Empati – mampu mengidentifikasi dan merasakan apa yang dirasakan orang lain, Nurani – mengetahui cara yang benar dan bertindak menurut cara tersebut, Kendali diri – mengendalikan pikiran dan tindakan agar tindakan kita sesuai dengan norma-norma yang benar, Rasa hormat – menghargai orang lain dengan memperlakukan mereka dengan hormat, Kebaikan hati – memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, Toleransi – menghormati martabat dan hak-hak semua orang, Adil – memilih untuk berpikiran terbuka dan bertindak berdasarkan prinsip keadilan.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1) Kecerdasan moral merupakan pusat kecerdasan bagi semua manusia yang secara langsung mendasari kecerdasan manusia untuk berbuat sesuatu yang berguna.
2) Kiat-kiat pembentukan kecerdasan moral diawali dari orang tua dengan menanamkan agama sejak dini, mengembangkan kepekaan sosial sejak dini serta memberikan kebebasan kepada anak disertai pertanggungjawabannya.
3.2. Saran-saran
1) Untuk menjaga diri dari perilaku abmoral, hendaknya mulai mengembangkan kiat-kiat pembentukan kecerdasan moral sejak sekarang.
2) Turut serta dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia melalui pengembangan pendidikan moral untuk membentuk pribadi-pribadi yang berbekal moral yang terpuji.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul. 2002. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment