Jadi pendidikan budaya dan karakter adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, adalah bagian dari tujuan dilaksanakannya pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah pasti tidak semudah yang dibayangkan. Sebab secara formal, proses pendidikan itu sendiri harus dilalui dengan penjenjangan yang boleh dikata amat melelahkan namun berdampak positif terhadap pembentukan karakter seseorang, bahkan jatidiri bangsa di sebuah negara.
Di Indonesia, misalnya. Pelaksanaan pendidikan sangat diharapkan mampu mewujudkan manusia beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri, serta mengedepankan rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Hal-hal tersebut sangat relevan dengan yang diamanahkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Bertolak dari sini, maka pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa, bukannya perpecahan. Sehingganya, sangat perlu mengasah inteligensi secara terus-menerus.
Namun secara spesifik, mencapai tujuan pendidikan seutuhnya ternyata pengembangan intelengensi saja tidak mampu menghasilkan manusia yang utuh. Berbagai hasil kajian dan pengalaman menunjukkan, bahwa pembelajaran komponen emosional lebih penting daripada intelektual.
Jika kualitas pendidikan diharapkan tercapai secara optimal, perlu diupayakan bagaimana membina peserta didik untuk memiliki kecerdasan emosi yang stabil sebagai penyeimbang dari inteligensi yang ada. Sebab, melalui kecerdasan emosional peserta didik dapat memahami diri dan lingkungannya secara tepat, memiliki rasa percaya diri, tidak mudah putus asa, dan dapat membentuk karakter peserta didik secara positif.
Kecerdasan Emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang psikolog, yakni Peter Salovey dan John Mayer.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosinal (EQ) adalah “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. (Shapiro, 1998: 8).
Menurut psikolog lainnya, yaitu Bar-On (Goleman:2000: 180), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Sedangkan Goleman (2002:512), memandang kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intellegence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.
Dari definisi tersebut tersirat adanya faktor kecerdasan emosional yang terdiri dari lima kemampuan utama, yaitu: 1). Mengenali emosi diri; 2). Mengelola emosi; 3). Memotivasi diri sendiri; 4). Mengenali emosi orang lain; dan 5). Membina hubungan.
Kecerdasan Emosional (EQ) lebih terfokus pada membangun hubungan harmonis dan selaras antarmanusia secara horizontal, sehingga kecerdasan intelegensi (IQ) pasti bermanfaat. Kecerdasan emosional dapat ditunjukkan melalui kemampuan seseorang untuk menyadari apa yang dia dan orang lain rasakan.
Sehingga itu, peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, cenderung dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik.
Keterampilan dasar kecerdasan emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya, dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Dan ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan emosional dalam pembelajaran, yakni: 1). Menyediakan lingkungan yang kondusif; 2). Menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis; 3). Mengembangkan sikap empati, dan merasakan apa yang sedang dirasakan peserta didik; 4). Membantu peserta didik menemukan solusi dalam setiap masalah yang dihadapinya; 5). Melibatkan peserta didik secara optimal dalam pembelajaran, baik secara fisik, sosial, maupun emosional; 6). Merespon setiap perilaku peserta didik secara positif, dan menghindari respon negatif; 7). Menjadi teladan dalam menegakkan aturan dan disiplin dalam pembelajaran; dan 8). Memberi kebebasan berfikir kreatif serta partisipasi secara aktif.
Semua hal tersebut memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya secara optimal. Dari proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan peserta didik yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan intelegensinya. Ada peserta didik yang mempunyai kemampuan intelegensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah. Dan ada pula peserta didik yang meski kemampuan intelegensinya relatif rendah, namun dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf intelegensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan.
Menurut Goleman (2000:44) kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati, serta kemampuan bekerja sama.
E.Mulyasa (2006:162) menyatakan, kecerdasan emosional dapat menjadikan peserta didik memiliki sikap: 1). Jujur, disiplin, dan tulus pada diri sendiri, membangun kekuatan dan kesadaran diri, mendengarkan suara hati, hormat dan tanggung jawab; 2). Memantapkan diri, maju terus, ulet, dan membangun inspirasi secara berkesinambungan; 3). Membangun watak dan kewibawaan,meningkatkan potensi, dan mengintegrasi tujuan belajar ke dalam tujuan hidupnya; 4). Memanfaatkan peluang dan menciptakan masa depan yang lebih cerah.
Sehingga dari sini, kecerdasan emosional (EQ) bukan merupakan lawan kecerdasan intelegensi (IQ), namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Sebab, pada kenyataannya perlu diakui, bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Budaya dan Karakter
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Dan budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, dan bersikap
Jadi pendidikan budaya dan karakter adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Cepi Triatna (2008:37) menyatakan, pendidikan karakter adalah pendidikan emosi atau pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, emosi peserta didik akan menjadi cerdas. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan peserta didik menyongsong masa depan yang penuh dengan tantangan.
Dapat digarisbawahi, bahwa tujuan pendidikan, budaya dan karakter bangsa adalah: 1). mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya serta karakter bangsa; 2). mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3). menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; 4). mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5). mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah: 1). Religius; 2). Jujur; 3).Toleransi 4). Disiplin; 5). Kerja keras 6). Kreatif; 7). Mandiri; 8). Demokratis; 9). Rasa ingin tahu; 10). Semangat kebangsaan; 11). Cinta tanah air; 12). Menghargai prestasi; 13). Bersahabat/Komuniktif; 14). Cinta damai; 15). Gemar membaca; 16). Peduli lingkungan; 17). Peduli sosial; dan 18). Tanggung-jawab.
Peserta didik yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosional, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya, sehingga jauh dari nilai-nilai yang diharapkan dalam pendidikan . Sebaliknya peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional akan membentuk peserta didik yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai pada pendidikan berkarakter.
Sehingga dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka sebagai konklusi dapat digambarkan, bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Bahkan kecerdasan emosional dapat ditunjukkan melalui kemampuan seseorang untuk menyadari apa yang dia dan orang lain rasakan.
Kemudian, peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik.
Dan sekali lagi perlu diingat, bahwa kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mangatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati, serta kemampuan bekerja sama.
Pendidikan karakter adalah pendidikan emosi atau pendidikan budi pekerti plus yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dalam pendidikan karakter , peserta didik di harapkan memiliki nilai-nilai positif yaitu 1). Religius; 2). Jujur; 3).Toleransi 4). Disiplin; 5). Kerja keras 6). Kreatif; 7). Mandiri; 8). Demokratis; 9). Rasa ingin tahu; 10). Semangat kebangsaan; 11). Cinta tanah air; 12). Menghargai prestasi; 13). Bersahabat/Komuniktif; 14). Cinta damai; 15). Gemar membaca; 16). Peduli lingkungan; 17). Peduli sosial; dan 18). Tanggung-jawab.
Olehnya itu, agar nilai-nilai tersebut dapat dicapai, maka cara mengembangkan kecerdasan emosional peserta didik adalah pilihan yang tepat untuk ditempuh. Sebab, dengan mengembangkan kecerdasan emosional, maka tentunya akan membentuk peserta didik yang berkarakter sebagaimana yang diharapkan.
Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, adalah bagian dari tujuan dilaksanakannya pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah pasti tidak semudah yang dibayangkan. Sebab secara formal, proses pendidikan itu sendiri harus dilalui dengan penjenjangan yang boleh dikata amat melelahkan namun berdampak positif terhadap pembentukan karakter seseorang, bahkan jatidiri bangsa di sebuah negara.
Di Indonesia, misalnya. Pelaksanaan pendidikan sangat diharapkan mampu mewujudkan manusia beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri, serta mengedepankan rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Hal-hal tersebut sangat relevan dengan yang diamanahkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional. Bertolak dari sini, maka pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa, bukannya perpecahan. Sehingganya, sangat perlu mengasah inteligensi secara terus-menerus.
Namun secara spesifik, mencapai tujuan pendidikan seutuhnya ternyata pengembangan intelengensi saja tidak mampu menghasilkan manusia yang utuh. Berbagai hasil kajian dan pengalaman menunjukkan, bahwa pembelajaran komponen emosional lebih penting daripada intelektual.
Jika kualitas pendidikan diharapkan tercapai secara optimal, perlu diupayakan bagaimana membina peserta didik untuk memiliki kecerdasan emosi yang stabil sebagai penyeimbang dari inteligensi yang ada. Sebab, melalui kecerdasan emosional peserta didik dapat memahami diri dan lingkungannya secara tepat, memiliki rasa percaya diri, tidak mudah putus asa, dan dapat membentuk karakter peserta didik secara positif.
Kecerdasan Emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang psikolog, yakni Peter Salovey dan John Mayer.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosinal (EQ) adalah “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. (Shapiro, 1998: 8).
Menurut psikolog lainnya, yaitu Bar-On (Goleman:2000: 180), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Sedangkan Goleman (2002:512), memandang kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intellegence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.
Dari definisi tersebut tersirat adanya faktor kecerdasan emosional yang terdiri dari lima kemampuan utama, yaitu: 1). Mengenali emosi diri; 2). Mengelola emosi; 3). Memotivasi diri sendiri; 4). Mengenali emosi orang lain; dan 5). Membina hubungan.
Kecerdasan Emosional (EQ) lebih terfokus pada membangun hubungan harmonis dan selaras antarmanusia secara horizontal, sehingga kecerdasan intelegensi (IQ) pasti bermanfaat. Kecerdasan emosional dapat ditunjukkan melalui kemampuan seseorang untuk menyadari apa yang dia dan orang lain rasakan.
Sehingga itu, peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, cenderung dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik.
Keterampilan dasar kecerdasan emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya, dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Dan ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan emosional dalam pembelajaran, yakni: 1). Menyediakan lingkungan yang kondusif; 2). Menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis; 3). Mengembangkan sikap empati, dan merasakan apa yang sedang dirasakan peserta didik; 4). Membantu peserta didik menemukan solusi dalam setiap masalah yang dihadapinya; 5). Melibatkan peserta didik secara optimal dalam pembelajaran, baik secara fisik, sosial, maupun emosional; 6). Merespon setiap perilaku peserta didik secara positif, dan menghindari respon negatif; 7). Menjadi teladan dalam menegakkan aturan dan disiplin dalam pembelajaran; dan 8). Memberi kebebasan berfikir kreatif serta partisipasi secara aktif.
Semua hal tersebut memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya secara optimal. Dari proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan peserta didik yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan intelegensinya. Ada peserta didik yang mempunyai kemampuan intelegensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah. Dan ada pula peserta didik yang meski kemampuan intelegensinya relatif rendah, namun dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf intelegensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan.
Menurut Goleman (2000:44) kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati, serta kemampuan bekerja sama.
E.Mulyasa (2006:162) menyatakan, kecerdasan emosional dapat menjadikan peserta didik memiliki sikap: 1). Jujur, disiplin, dan tulus pada diri sendiri, membangun kekuatan dan kesadaran diri, mendengarkan suara hati, hormat dan tanggung jawab; 2). Memantapkan diri, maju terus, ulet, dan membangun inspirasi secara berkesinambungan; 3). Membangun watak dan kewibawaan,meningkatkan potensi, dan mengintegrasi tujuan belajar ke dalam tujuan hidupnya; 4). Memanfaatkan peluang dan menciptakan masa depan yang lebih cerah.
Sehingga dari sini, kecerdasan emosional (EQ) bukan merupakan lawan kecerdasan intelegensi (IQ), namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Sebab, pada kenyataannya perlu diakui, bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Budaya dan Karakter
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Dan budaya adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, dan bersikap
Jadi pendidikan budaya dan karakter adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Cepi Triatna (2008:37) menyatakan, pendidikan karakter adalah pendidikan emosi atau pendidikan budi pekerti plus, yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, emosi peserta didik akan menjadi cerdas. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan peserta didik menyongsong masa depan yang penuh dengan tantangan.
Dapat digarisbawahi, bahwa tujuan pendidikan, budaya dan karakter bangsa adalah: 1). mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya serta karakter bangsa; 2). mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3). menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; 4). mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5). mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah: 1). Religius; 2). Jujur; 3).Toleransi 4). Disiplin; 5). Kerja keras 6). Kreatif; 7). Mandiri; 8). Demokratis; 9). Rasa ingin tahu; 10). Semangat kebangsaan; 11). Cinta tanah air; 12). Menghargai prestasi; 13). Bersahabat/Komuniktif; 14). Cinta damai; 15). Gemar membaca; 16). Peduli lingkungan; 17). Peduli sosial; dan 18). Tanggung-jawab.
Peserta didik yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosional, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya, sehingga jauh dari nilai-nilai yang diharapkan dalam pendidikan . Sebaliknya peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional akan membentuk peserta didik yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai pada pendidikan berkarakter.
Sehingga dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka sebagai konklusi dapat digambarkan, bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Bahkan kecerdasan emosional dapat ditunjukkan melalui kemampuan seseorang untuk menyadari apa yang dia dan orang lain rasakan.
Kemudian, peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik.
Dan sekali lagi perlu diingat, bahwa kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mangatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati, serta kemampuan bekerja sama.
Pendidikan karakter adalah pendidikan emosi atau pendidikan budi pekerti plus yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dalam pendidikan karakter , peserta didik di harapkan memiliki nilai-nilai positif yaitu 1). Religius; 2). Jujur; 3).Toleransi 4). Disiplin; 5). Kerja keras 6). Kreatif; 7). Mandiri; 8). Demokratis; 9). Rasa ingin tahu; 10). Semangat kebangsaan; 11). Cinta tanah air; 12). Menghargai prestasi; 13). Bersahabat/Komuniktif; 14). Cinta damai; 15). Gemar membaca; 16). Peduli lingkungan; 17). Peduli sosial; dan 18). Tanggung-jawab.
Olehnya itu, agar nilai-nilai tersebut dapat dicapai, maka cara mengembangkan kecerdasan emosional peserta didik adalah pilihan yang tepat untuk ditempuh. Sebab, dengan mengembangkan kecerdasan emosional, maka tentunya akan membentuk peserta didik yang berkarakter sebagaimana yang diharapkan.
No comments:
Post a Comment