1. ANAK SUKA BERBOHONG
Kemunugkinan besar anak berbohong disebabkan oleh karena ORANG TUA acap kali melarang anak untuk mengatakan atau menceritakan sesuatu peristiwa atau kejadian yang benar. Sebagai ilusterasi, "Jagad secara terus terang mengatakan kepada ibunya bahwa ia sangat membenci adiknya yang bernama Jayeng dan pernah mencubit adiknya itu sampai menangis meraung-raung." Mendengar pernyataan ini Ibunya langsung mencubit paha Jagad bahkan menampar pihinya hingga memar memerah.
Suatu ketika Jagad marah lagi pada adiknya karena mengganggu saat ia sedang belajar, ibunya datang, hati Jagad masih bergolak menahan rasa marahnya, akan tetapi Jagad mengatakan pada ibunya itu, bahwa ia sangat menyayangi adiknya. Mendengar penuturan ini ibunya langsung merangkul Jagad dengan mencium pipinya dan mengusap-usap kepalanya.
Dari contoh ilusterasi di atas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa berbicara benar membuat seorang anak Jagad, mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan, merasakan kesakitan, dicubit dan ditampar oleh ibunya, sedangkan dengan berbohong mengatakan yang bukan sebenarnya mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Pengalaman itu mengajarkan kepada anak bahwa ibu lebih menyukai kepada anaknya yang berbohong. Hal seperti inilah yang acap kali dikeluhkan oleh seorang ibu karena anak-anaknya sering berbohong. Orang tua terutama seorang ibu sering kali menyalahkan anak-anaknya yang sering kali berbohong. Padahal secara tak disadarinya, kelakuan dan sikap anak untuk berbicara bohong itu akibat dari prilaku dan tindakannya sendiri dalam menyikapi suatu kejadian di dalam keluarga berkait dengan anak-anaknya. Dan berbicara bohong dari anak-anaknya tersebut merupakan hasil dari didikkannya sendiri.
BOHONG adalah berbicara yang tidak sebenarnya dan itu dilalakukan dengan sengaja yang bertujuan untuk memperdayakan orang lain. Dengan kata lain berbohong meliputi tiga faktor;
1 ) berbicara yang tidak dengan sebenarnya,
2.) dilakukan dengan sengaja, dan
3 ) bertujuan untuk memperdayakan orang lain.
SOLUSI :
Berkait dengan masalah tersebut di atas, jika orang tua menginginkan anak-anaknya bersikap jujur, dan tidak berbohong, maka seyogyanyalah harus bersedia untuk mendengarkan suatu kebenaran baik kebenaran itu terasa manis atau pahit, baik ataupun buruk yang dinyatakan oleh seorang anak. Jangan sampai anak merasa takut untuk mengungkapkan segala isi hatinya. Seorang anak biasanya akan selalu memperhatikan reaksi orang tua terhadap ekspresi ungkapan perasaannya. Dan reaksi-reaksi orangtuanya itulah yang mengajarkan kepada anak, apakah sebaiknya dia bersikap jujur atau berbohong. Apabila orang tua pada suatu ketika menghukum anaknya yang sudah mengatakan yang sebenarnya, jujur dan tidak berbohong, maka tentunya seorang anak akan terdorong untuk berbohong sebbagai tindakan bela diri atau pertahanan diri.’
2. ANAK YANG SUKA BEKELAHI
Berdasarkan studi Gentile dan Bushman mengatakan, ada enam faktor yang dapat menyebabkan anak menjadi pengganggu atau bullying terhadap temannya. “Ketika semua faktor-faktor risiko dialami oleh anak-anak, risiko agresi dan perilaku intimidasi akan tinggi. 1-2 faktor risiko bukanlah masalah besar bagi anak-anak, tetapi orangtua masih membutuhkan bantuan untuk mengatasi,” kata Gentile.
1. Kecenderungan permusuhan
Dalam sebuah keluarga, sebuah hubungan dan persahabatan, permusuhan sering tidak dapat dihindari. Membuat permusuhan akan membuat anak merasa dendam dan ingin membalas.
2. Kurangnya perhatian
Keterlibatan orang tua yang rendah dan kurangnya perhatian pada anak-anak dapat menyebabkan anak-anak ingin mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya memuji kekuatan dan popularitas di luar rumah.
3. Gender sebagai laki-laki
Seringkali orang menganggap bahwa untuk menjadi seorang pria harus kuat selama perkelahian. Perilaku ini membuat mereka lebih mungkin agresif secara fisik.
4. Sejarah kekerasan
Biasanya, anak-anak yang mengalami kekerasan, terutama dari orang tua lebihmungkin untuk ‘balas dendam’ di luar rumah mereka.
5. Sejarah Perkelahian
Terkadang anak-anak berjuang untuk membuktikan kekuatan mereka untuk membuat seseorang kecanduan untuk terus melakukannya. Bisa jadi karena mereka senang mendapatkan pujian oleh banyak orang.
6. Paparan kekerasan dari media
Televisi, video game, dan film menyajikan banyak adegan kekerasan atau perang. Meskipun seharusnya orang tua memberikan bimbingan saat menonton atau bermain video game untuk anak-anak, pada kenyataannya banyak yang tidak melakukan hal ini. Eksposur media untuk adegan kekerasan sering membuat inspirasi bagi anak untuk mencobanya di dunia nyata.
“Anda harus menemani anak dan memberi makna pada adegan kekerasan sambil menonton film atau bermain video game perkelahian. Karena pengaruh media ini 80% dapat membuat perilaku negatif pada anak dan anak terinspirasi untuk melakukannya,” saran Gentile.
3. ANAK YANG SUKA MENCURI
Kadang-kadang orang tua merasa terkejut dan bingung sewaktu pertama kali mengetahui anaknya mencuri.Orang tua lantas mungkin berpikir bahwa ini merupakan hal yang wajar dalam perkembangan anak.Anggapan ini tentu saja tidak benar.Jadi, sekecil apa pun pencurian yang dilakukan anak, orang tua harus melarang dan menghentikannya.
Boleh dikata hal ini kerap kali terjadi, terutama dalam keluarga yang memiliki anak berusia empat sampai tujuh tahun. Pada usia ini anak cenderung untuk mengambil apa yang bukan haknya. Sebenarnya, perbuatan mencuri yang dilakukan anak-anak balita bukanlah tingkah laku yang menyimpang. Tetapi bila orang tua tidak menanganinya dengan benar, tingkah laku yang tidak berbahaya itu dapat mengarah menjadi perbuatan yang berakibat lebih jauh.
Mencuri di kalangan anak-anak balita sering terjadi. Ini disebabkan karena mereka belum mempunyai konsep kemilikan. Anak-anak belum mempunyai batas yang tegas antara milik sendiri dan milik orang lain. Bila mereka melihat sesuatu yang disukainya, mereka akan mengam-bilnya. Bagi mereka seolah berlaku prinsip: “Aku lihat, aku suka, aku mau, aku ambil. Anak kecil belum mengerti bahwa dengan mengambil benda yang dinginkan tanpa izin si pemilik, ia melanggar hak milik teman tersebut dan akan merugikan si teman itu. Pada umumnya, orangtua pasti akan merasa kaget, kecewa, dan malu bila mengetahui bahwa anak mereka telah mencuri sesuatu milik orang lain. Namun, janganlah orangtua bertindak tergesa-gesa, langsung marah-marah kepada anak, apalagi menghukumnya dengan cara yang berlebihan. Sebab, tidak semua anak mencuri karena niat yang sudah direncanakan.
Penyebab anak Mencuri
1. Mencuri karena tidak mengerti.
Sebagian dari mereka ada yang mengambil barang milik orang lain karena ia belum mengerti tentang maksud dari kepemilikan suatu barang. Ia belum dapat membedakan mana barang milik sendiri dan yang mana barang milik orang lain. Biasanya tindakan ini terjadi pada anak usia 3-5 tahun. Anak di usia ini sering menganggap bahwa semua barang yang ada dihadapannya adalah miliknya sendiri.
2. Mencuri karena kebutuhan identitas diri.
Anak mencuri karena ia memiliki kebutuhan yang khas akan identitas diri dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya yang ia idolakan. Kadangkala ada anak yang memiliki perasaan rendah diri, tetapi sangat berharap untuk dapat diterima, namun tidak ada bakat yang menonjol atau paras muka yang cakap yang dapat dijadikan alasan untuk diterima. Oleh karena itu supaya dapat diterima sebagai teman, ia lalu mencuri uang dan dengan uang curian, ia mengundang makan dan memegahkan diri di hadapan teman-temannya.
3. Mencuri karena mencontoh yang salah.
Anak mencuri karena melihat orangtua (ibu atau ayah), saudara atau teman mengambil barang yang bukan miliknya. Dalam keluarga harus ada pendidikan moral yang benar. Sekalipun pada hal-hal yang kecil, namun bila disertai dengan ketamakan akan merangsang anak untuk mencuri, baik itu mencuri bunga, buah, alat-alat atau barang-barang milik orang lain. Tidak adanya pendidikan moral dalam keluarga akan mudah menjadikan anak-anak mempunyai kebiasaan mancuri.
4. Mencuri karena tekanan dan adanya keinginan untuk memiliki.
Anak mencuri karena ada tekanan akan kebutuhan dan keinginannya. Anak ini mencuri karena terpaksa. Misalnya, anak ingin makanan tetapi tidak diberi uang jajan oleh orangtuanya. Akhirnya ia terpaksa mencuri uang temannya untuk membeli makanan.
Karena keinginan untuk memiliki begitu menggoda, maka anak melakukan pencurian. Keinginan ini dapat timbul karena anak sering kurang mampu menguasai diri. Ini biasa terjadi bila anak terlalu dilindungi. Anak akan lebih sering lagi mencuri bila orang tua tidak menyelidiki mengapa barang atau uang dalam rumah sering hilang, atau ibu tahu anak telah mengambil barang di toko, lalu dibayarkan secara diam-diam. Dengan demikian anak semakin terjerumus ke dalam kebiasaan yang buruk. Penyebab lain bisa karena anak lahir dari keluarga miskin. Kemiskinan telah merisaukan dirinya. Apa yang menjadi kebutuhannya tidak dapat terpenuhi, selain dengan mencuri.
5. Ingin menonjolkan rasa kebersatuan.
Karena ingin menonjolkan rasa kebersatuan yang tinggi, seorang anak melakukan pencurian bersama-sama dalam satu kelompok. Dalam kelompok itu, mereka merasakan adanya suasana kebersamaan dan juga timbulnya rasa kebanggaan terhadap kepahlawanan seseorang sehingga mencuri dianggap sebagai terobosan untuk menikmati kebahagiaan.
6. Mencuri karena gangguan kejiwaan (kleptomania).
Anak mencuri karena adanya gangguan kejiwaan. Ia mencuri bukan karena ’kemauannya’. Barang yang dicuri penderita kleptomania sebenarnya mampu ia beli. Namun, ketika mencuri, anak merasa terlepas dari impitan perasaan yang membelenggunya. Setelah itu perasaan bersalah kemudian menderanya.
MENGATASI MASALAH
Bagaimana membantu anak untuk mengatasi masalah kebiasaan suka mencuri ini? Diharapkan beberapa cara penyelesaian di bawah ini dapat memberikan petunjuk kepada orang tua dan guru.
1. Mencukupi kebutuhan anak dan memberikan pengertian untuk bersabar.
Banyak anak suka mencuri karena keinginan yang dibutuhkan belum terpenuhi. Sebaiknya orang tua mengoreksi diri, apakah ada kebutuhan anak yang belum dicukupi..?? Kelalaian itu bisa terjadi dalam bentuk : tidak memberi makanan yang bergizi, atau tidak menyediakan alat tulis yang dibutuhkan, atau keperluan sehari- hari lainnya. Semuanya itu akan membuat anak tergoda untuk melakukan pencurian.
Memberikan pengertian pada anak (disesuaikan dengan usia anak) agar bersabar apabila keinginan yang diharapkan anak belum bisa dikabulkan, dalam hal ini diperlukan komunikasi yang terbuka, baik & penuh kasih sayang antara orang tua dan anak, agar anak juga bisa memahami mengapa keinginannya belum atau tidak bisa dikabulkan.
2. Memberi perhatian yang cukup.
Ada pencurian karena adanya ketidakstabilan dalam jiwa anak. Orang tua yang sibuk hanya tahu mencukupi kebutuhan anak secara materi, tetapi melalaikan kebutuhan rohaninya. Bila anak itu sehat, puas dan stabil jwanya, tidak mungkin ia mencuri untuk mencari perhatian orang dewasa
3. Mengenali pergaulan anak.
Ketika diketahui anak mulai suka mencuri, segera selidiki lebih dahulu tentang teman-temannya. Apakah ia bergaul dengan teman- teman yang berperangai buruk, yang menganggap mencuri itu satu keberanian atau mereka diancam untuk mencuri. Jika benar teman- teman itu yang bermasalah, maka dengan sabar orang tua harus mengajar anak dan menjelaskan akibat buruk dari mencuri itu.
4. Menyelidiki motivasinya.
Selain unsur di atas, mungkin masih ada motivasi yang tersembunyi yang mendorong anak itu mencuri. Cobalah untuk mengetahui kehidupan sosial anak itu, mungkin mereka senang bermain dengan teman2 sebaya yang diantaranya ada yang suka mencuri, sedang berpacaran atau sedang terjerumus pada obat-obat terlarang seperti: ganja atau minuman keras. Bila orang tua dengan teliti menyelidiki motivasi anak mencuri, maka akan lebih mudah mengatasi masalahnya.
5. Memasukkan konsep nilai yang benar.
Sejak kecil orang tua sudah harus mendidik perbedaan antara "ini milik kamu" dan "ini milik saya". Jangan membiarkan anak sembarangan mengambil barang orang lain. Kalau dalam tas atau di saku ditemukan barang milik teman, anak harus segera mengembalikannya. Menerapkan konsep yang benar harus disertai dengan teladan yang baik supaya anak tidak tamak terhadap hal apa pun sekalipun itu hal yang kecil atau sembarangan meminjam barang milik orang lain. Berikanlah penghargaan dan pujian bila mereka mampu mengurus atau mengatur barangnya sendiri.
6. Melakukan usaha secara bersama
.Jika anak sendiri tidak berniat untuk membuang kebiasaan yang jelek, meskipun orang tua atau guru memaksa atau menekan mereka, hasilnya tetap akan sia-sia. Usahakanlah untuk bekerja sama dengan anak, menasihati dan menjelaskan sebab-akibat dari tindak mencuri, atau membantu mereka untuk mencari jalan ke luar yang bisa dilakukan, kemudian berdoalah bersama mereka agar bersandar pada anugerah Tuhan untuk hidup dalam kebenaran.
7. Mendidiknya dalam kebenaran.
Bimbinglah anak dengan ajaran Agama, tingkatkan keimanan dengan mengajak anak melakukan kegiatan ibadah bersama keluarga dan berilah pengertian dengan penuh kasih sayang. Setelah dibimbing, anak mungkin masih dapat lupa dan jatuh lagi, tetapi dengan seringnya diingatkan serta diawasi dan didoakan, pasti ada pengharapan bahwa Tuhan akan mengubah mereka menjadi lebih baik sehingga buah kebenaran dihasilkan melalui dan di dalam hidup mereka.
4. ANAK YANG NAKAL
Penyebab :
Dari sekian banyak karunia di dunia adalah memiliki anak. Seperti koin yang memilki dua sisi, anak selain sebagai karunia bisa jadi ujian bagi kedua orang tuanya. Menarik ketika membicarakan pendidikan psikologis anak. Ada empat faktor yang menjadi penyebab mengapa anak-anak menjadi nakal (baca: kreatif)
1. Kreatif
Usia anak-anak apalagi saat TK dan SD menjadi masa paling aktif secara motorik bagi anak-anak. Kenakalan anak-anak seperti berbuat kegaduhan, membuat hal-hal aneh merupakan kreativitas mereka sebagai anak di usia produktif. Jangan hambat mereka, namun arahkan ke hal yang menarik dan tidak membahayakan.
2. Caper (Cari Perhatian)
Ayah lagi asyik maen laptop, si kecil malah naek ke atas meja. Bunda lagi masak, si kecil malah maen perang-perangan pake timun sambil dilempar-lempar. Yess, mereka cari-cari perhatian. Rumusnya, jaga terus hubungan batin anak-orang tua. Jangan lupa terus katakan, ayah/bunda sayang kamu, Nak.
3. Ujian
Kenakalan anak mulai terasa merepotkan tatkala mereka remaja. Anak mulai bergaul dengan anak-anak tongkrongan. Mulai merokok, tatkala dinasehati hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tidak jarang mereka membantah orangtuanya. Padahal, kedua orangtuanya rajin ibadah, soleh, perhatian dan telah memberikan yang terbaik. Ini adalah ujian, seperti rekam jejak yang terjadi pada Nabi Nuh yang memiliki anak pembangkang.
4. Uang Haram/Syubhat
Ini dia satu hal yang sensitif. Butuh kejujuran terdalam dari semua orang tua di dunia ini. Adakah uang haram/syubhat yang masuk ke dalam perut anak-anaknya? Jika iya, tidak heran jika buah hatinya berkelakuan nakal.
Solusi :
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Kemunugkinan besar anak berbohong disebabkan oleh karena ORANG TUA acap kali melarang anak untuk mengatakan atau menceritakan sesuatu peristiwa atau kejadian yang benar. Sebagai ilusterasi, "Jagad secara terus terang mengatakan kepada ibunya bahwa ia sangat membenci adiknya yang bernama Jayeng dan pernah mencubit adiknya itu sampai menangis meraung-raung." Mendengar pernyataan ini Ibunya langsung mencubit paha Jagad bahkan menampar pihinya hingga memar memerah.
Suatu ketika Jagad marah lagi pada adiknya karena mengganggu saat ia sedang belajar, ibunya datang, hati Jagad masih bergolak menahan rasa marahnya, akan tetapi Jagad mengatakan pada ibunya itu, bahwa ia sangat menyayangi adiknya. Mendengar penuturan ini ibunya langsung merangkul Jagad dengan mencium pipinya dan mengusap-usap kepalanya.
Dari contoh ilusterasi di atas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa berbicara benar membuat seorang anak Jagad, mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan, merasakan kesakitan, dicubit dan ditampar oleh ibunya, sedangkan dengan berbohong mengatakan yang bukan sebenarnya mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Pengalaman itu mengajarkan kepada anak bahwa ibu lebih menyukai kepada anaknya yang berbohong. Hal seperti inilah yang acap kali dikeluhkan oleh seorang ibu karena anak-anaknya sering berbohong. Orang tua terutama seorang ibu sering kali menyalahkan anak-anaknya yang sering kali berbohong. Padahal secara tak disadarinya, kelakuan dan sikap anak untuk berbicara bohong itu akibat dari prilaku dan tindakannya sendiri dalam menyikapi suatu kejadian di dalam keluarga berkait dengan anak-anaknya. Dan berbicara bohong dari anak-anaknya tersebut merupakan hasil dari didikkannya sendiri.
BOHONG adalah berbicara yang tidak sebenarnya dan itu dilalakukan dengan sengaja yang bertujuan untuk memperdayakan orang lain. Dengan kata lain berbohong meliputi tiga faktor;
1 ) berbicara yang tidak dengan sebenarnya,
2.) dilakukan dengan sengaja, dan
3 ) bertujuan untuk memperdayakan orang lain.
SOLUSI :
Berkait dengan masalah tersebut di atas, jika orang tua menginginkan anak-anaknya bersikap jujur, dan tidak berbohong, maka seyogyanyalah harus bersedia untuk mendengarkan suatu kebenaran baik kebenaran itu terasa manis atau pahit, baik ataupun buruk yang dinyatakan oleh seorang anak. Jangan sampai anak merasa takut untuk mengungkapkan segala isi hatinya. Seorang anak biasanya akan selalu memperhatikan reaksi orang tua terhadap ekspresi ungkapan perasaannya. Dan reaksi-reaksi orangtuanya itulah yang mengajarkan kepada anak, apakah sebaiknya dia bersikap jujur atau berbohong. Apabila orang tua pada suatu ketika menghukum anaknya yang sudah mengatakan yang sebenarnya, jujur dan tidak berbohong, maka tentunya seorang anak akan terdorong untuk berbohong sebbagai tindakan bela diri atau pertahanan diri.’
2. ANAK YANG SUKA BEKELAHI
Berdasarkan studi Gentile dan Bushman mengatakan, ada enam faktor yang dapat menyebabkan anak menjadi pengganggu atau bullying terhadap temannya. “Ketika semua faktor-faktor risiko dialami oleh anak-anak, risiko agresi dan perilaku intimidasi akan tinggi. 1-2 faktor risiko bukanlah masalah besar bagi anak-anak, tetapi orangtua masih membutuhkan bantuan untuk mengatasi,” kata Gentile.
1. Kecenderungan permusuhan
Dalam sebuah keluarga, sebuah hubungan dan persahabatan, permusuhan sering tidak dapat dihindari. Membuat permusuhan akan membuat anak merasa dendam dan ingin membalas.
2. Kurangnya perhatian
Keterlibatan orang tua yang rendah dan kurangnya perhatian pada anak-anak dapat menyebabkan anak-anak ingin mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya memuji kekuatan dan popularitas di luar rumah.
3. Gender sebagai laki-laki
Seringkali orang menganggap bahwa untuk menjadi seorang pria harus kuat selama perkelahian. Perilaku ini membuat mereka lebih mungkin agresif secara fisik.
4. Sejarah kekerasan
Biasanya, anak-anak yang mengalami kekerasan, terutama dari orang tua lebihmungkin untuk ‘balas dendam’ di luar rumah mereka.
5. Sejarah Perkelahian
Terkadang anak-anak berjuang untuk membuktikan kekuatan mereka untuk membuat seseorang kecanduan untuk terus melakukannya. Bisa jadi karena mereka senang mendapatkan pujian oleh banyak orang.
6. Paparan kekerasan dari media
Televisi, video game, dan film menyajikan banyak adegan kekerasan atau perang. Meskipun seharusnya orang tua memberikan bimbingan saat menonton atau bermain video game untuk anak-anak, pada kenyataannya banyak yang tidak melakukan hal ini. Eksposur media untuk adegan kekerasan sering membuat inspirasi bagi anak untuk mencobanya di dunia nyata.
“Anda harus menemani anak dan memberi makna pada adegan kekerasan sambil menonton film atau bermain video game perkelahian. Karena pengaruh media ini 80% dapat membuat perilaku negatif pada anak dan anak terinspirasi untuk melakukannya,” saran Gentile.
3. ANAK YANG SUKA MENCURI
Kadang-kadang orang tua merasa terkejut dan bingung sewaktu pertama kali mengetahui anaknya mencuri.Orang tua lantas mungkin berpikir bahwa ini merupakan hal yang wajar dalam perkembangan anak.Anggapan ini tentu saja tidak benar.Jadi, sekecil apa pun pencurian yang dilakukan anak, orang tua harus melarang dan menghentikannya.
Boleh dikata hal ini kerap kali terjadi, terutama dalam keluarga yang memiliki anak berusia empat sampai tujuh tahun. Pada usia ini anak cenderung untuk mengambil apa yang bukan haknya. Sebenarnya, perbuatan mencuri yang dilakukan anak-anak balita bukanlah tingkah laku yang menyimpang. Tetapi bila orang tua tidak menanganinya dengan benar, tingkah laku yang tidak berbahaya itu dapat mengarah menjadi perbuatan yang berakibat lebih jauh.
Mencuri di kalangan anak-anak balita sering terjadi. Ini disebabkan karena mereka belum mempunyai konsep kemilikan. Anak-anak belum mempunyai batas yang tegas antara milik sendiri dan milik orang lain. Bila mereka melihat sesuatu yang disukainya, mereka akan mengam-bilnya. Bagi mereka seolah berlaku prinsip: “Aku lihat, aku suka, aku mau, aku ambil. Anak kecil belum mengerti bahwa dengan mengambil benda yang dinginkan tanpa izin si pemilik, ia melanggar hak milik teman tersebut dan akan merugikan si teman itu. Pada umumnya, orangtua pasti akan merasa kaget, kecewa, dan malu bila mengetahui bahwa anak mereka telah mencuri sesuatu milik orang lain. Namun, janganlah orangtua bertindak tergesa-gesa, langsung marah-marah kepada anak, apalagi menghukumnya dengan cara yang berlebihan. Sebab, tidak semua anak mencuri karena niat yang sudah direncanakan.
Penyebab anak Mencuri
1. Mencuri karena tidak mengerti.
Sebagian dari mereka ada yang mengambil barang milik orang lain karena ia belum mengerti tentang maksud dari kepemilikan suatu barang. Ia belum dapat membedakan mana barang milik sendiri dan yang mana barang milik orang lain. Biasanya tindakan ini terjadi pada anak usia 3-5 tahun. Anak di usia ini sering menganggap bahwa semua barang yang ada dihadapannya adalah miliknya sendiri.
2. Mencuri karena kebutuhan identitas diri.
Anak mencuri karena ia memiliki kebutuhan yang khas akan identitas diri dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya yang ia idolakan. Kadangkala ada anak yang memiliki perasaan rendah diri, tetapi sangat berharap untuk dapat diterima, namun tidak ada bakat yang menonjol atau paras muka yang cakap yang dapat dijadikan alasan untuk diterima. Oleh karena itu supaya dapat diterima sebagai teman, ia lalu mencuri uang dan dengan uang curian, ia mengundang makan dan memegahkan diri di hadapan teman-temannya.
3. Mencuri karena mencontoh yang salah.
Anak mencuri karena melihat orangtua (ibu atau ayah), saudara atau teman mengambil barang yang bukan miliknya. Dalam keluarga harus ada pendidikan moral yang benar. Sekalipun pada hal-hal yang kecil, namun bila disertai dengan ketamakan akan merangsang anak untuk mencuri, baik itu mencuri bunga, buah, alat-alat atau barang-barang milik orang lain. Tidak adanya pendidikan moral dalam keluarga akan mudah menjadikan anak-anak mempunyai kebiasaan mancuri.
4. Mencuri karena tekanan dan adanya keinginan untuk memiliki.
Anak mencuri karena ada tekanan akan kebutuhan dan keinginannya. Anak ini mencuri karena terpaksa. Misalnya, anak ingin makanan tetapi tidak diberi uang jajan oleh orangtuanya. Akhirnya ia terpaksa mencuri uang temannya untuk membeli makanan.
Karena keinginan untuk memiliki begitu menggoda, maka anak melakukan pencurian. Keinginan ini dapat timbul karena anak sering kurang mampu menguasai diri. Ini biasa terjadi bila anak terlalu dilindungi. Anak akan lebih sering lagi mencuri bila orang tua tidak menyelidiki mengapa barang atau uang dalam rumah sering hilang, atau ibu tahu anak telah mengambil barang di toko, lalu dibayarkan secara diam-diam. Dengan demikian anak semakin terjerumus ke dalam kebiasaan yang buruk. Penyebab lain bisa karena anak lahir dari keluarga miskin. Kemiskinan telah merisaukan dirinya. Apa yang menjadi kebutuhannya tidak dapat terpenuhi, selain dengan mencuri.
5. Ingin menonjolkan rasa kebersatuan.
Karena ingin menonjolkan rasa kebersatuan yang tinggi, seorang anak melakukan pencurian bersama-sama dalam satu kelompok. Dalam kelompok itu, mereka merasakan adanya suasana kebersamaan dan juga timbulnya rasa kebanggaan terhadap kepahlawanan seseorang sehingga mencuri dianggap sebagai terobosan untuk menikmati kebahagiaan.
6. Mencuri karena gangguan kejiwaan (kleptomania).
Anak mencuri karena adanya gangguan kejiwaan. Ia mencuri bukan karena ’kemauannya’. Barang yang dicuri penderita kleptomania sebenarnya mampu ia beli. Namun, ketika mencuri, anak merasa terlepas dari impitan perasaan yang membelenggunya. Setelah itu perasaan bersalah kemudian menderanya.
MENGATASI MASALAH
Bagaimana membantu anak untuk mengatasi masalah kebiasaan suka mencuri ini? Diharapkan beberapa cara penyelesaian di bawah ini dapat memberikan petunjuk kepada orang tua dan guru.
1. Mencukupi kebutuhan anak dan memberikan pengertian untuk bersabar.
Banyak anak suka mencuri karena keinginan yang dibutuhkan belum terpenuhi. Sebaiknya orang tua mengoreksi diri, apakah ada kebutuhan anak yang belum dicukupi..?? Kelalaian itu bisa terjadi dalam bentuk : tidak memberi makanan yang bergizi, atau tidak menyediakan alat tulis yang dibutuhkan, atau keperluan sehari- hari lainnya. Semuanya itu akan membuat anak tergoda untuk melakukan pencurian.
Memberikan pengertian pada anak (disesuaikan dengan usia anak) agar bersabar apabila keinginan yang diharapkan anak belum bisa dikabulkan, dalam hal ini diperlukan komunikasi yang terbuka, baik & penuh kasih sayang antara orang tua dan anak, agar anak juga bisa memahami mengapa keinginannya belum atau tidak bisa dikabulkan.
2. Memberi perhatian yang cukup.
Ada pencurian karena adanya ketidakstabilan dalam jiwa anak. Orang tua yang sibuk hanya tahu mencukupi kebutuhan anak secara materi, tetapi melalaikan kebutuhan rohaninya. Bila anak itu sehat, puas dan stabil jwanya, tidak mungkin ia mencuri untuk mencari perhatian orang dewasa
3. Mengenali pergaulan anak.
Ketika diketahui anak mulai suka mencuri, segera selidiki lebih dahulu tentang teman-temannya. Apakah ia bergaul dengan teman- teman yang berperangai buruk, yang menganggap mencuri itu satu keberanian atau mereka diancam untuk mencuri. Jika benar teman- teman itu yang bermasalah, maka dengan sabar orang tua harus mengajar anak dan menjelaskan akibat buruk dari mencuri itu.
4. Menyelidiki motivasinya.
Selain unsur di atas, mungkin masih ada motivasi yang tersembunyi yang mendorong anak itu mencuri. Cobalah untuk mengetahui kehidupan sosial anak itu, mungkin mereka senang bermain dengan teman2 sebaya yang diantaranya ada yang suka mencuri, sedang berpacaran atau sedang terjerumus pada obat-obat terlarang seperti: ganja atau minuman keras. Bila orang tua dengan teliti menyelidiki motivasi anak mencuri, maka akan lebih mudah mengatasi masalahnya.
5. Memasukkan konsep nilai yang benar.
Sejak kecil orang tua sudah harus mendidik perbedaan antara "ini milik kamu" dan "ini milik saya". Jangan membiarkan anak sembarangan mengambil barang orang lain. Kalau dalam tas atau di saku ditemukan barang milik teman, anak harus segera mengembalikannya. Menerapkan konsep yang benar harus disertai dengan teladan yang baik supaya anak tidak tamak terhadap hal apa pun sekalipun itu hal yang kecil atau sembarangan meminjam barang milik orang lain. Berikanlah penghargaan dan pujian bila mereka mampu mengurus atau mengatur barangnya sendiri.
6. Melakukan usaha secara bersama
.Jika anak sendiri tidak berniat untuk membuang kebiasaan yang jelek, meskipun orang tua atau guru memaksa atau menekan mereka, hasilnya tetap akan sia-sia. Usahakanlah untuk bekerja sama dengan anak, menasihati dan menjelaskan sebab-akibat dari tindak mencuri, atau membantu mereka untuk mencari jalan ke luar yang bisa dilakukan, kemudian berdoalah bersama mereka agar bersandar pada anugerah Tuhan untuk hidup dalam kebenaran.
7. Mendidiknya dalam kebenaran.
Bimbinglah anak dengan ajaran Agama, tingkatkan keimanan dengan mengajak anak melakukan kegiatan ibadah bersama keluarga dan berilah pengertian dengan penuh kasih sayang. Setelah dibimbing, anak mungkin masih dapat lupa dan jatuh lagi, tetapi dengan seringnya diingatkan serta diawasi dan didoakan, pasti ada pengharapan bahwa Tuhan akan mengubah mereka menjadi lebih baik sehingga buah kebenaran dihasilkan melalui dan di dalam hidup mereka.
4. ANAK YANG NAKAL
Penyebab :
Dari sekian banyak karunia di dunia adalah memiliki anak. Seperti koin yang memilki dua sisi, anak selain sebagai karunia bisa jadi ujian bagi kedua orang tuanya. Menarik ketika membicarakan pendidikan psikologis anak. Ada empat faktor yang menjadi penyebab mengapa anak-anak menjadi nakal (baca: kreatif)
1. Kreatif
Usia anak-anak apalagi saat TK dan SD menjadi masa paling aktif secara motorik bagi anak-anak. Kenakalan anak-anak seperti berbuat kegaduhan, membuat hal-hal aneh merupakan kreativitas mereka sebagai anak di usia produktif. Jangan hambat mereka, namun arahkan ke hal yang menarik dan tidak membahayakan.
2. Caper (Cari Perhatian)
Ayah lagi asyik maen laptop, si kecil malah naek ke atas meja. Bunda lagi masak, si kecil malah maen perang-perangan pake timun sambil dilempar-lempar. Yess, mereka cari-cari perhatian. Rumusnya, jaga terus hubungan batin anak-orang tua. Jangan lupa terus katakan, ayah/bunda sayang kamu, Nak.
3. Ujian
Kenakalan anak mulai terasa merepotkan tatkala mereka remaja. Anak mulai bergaul dengan anak-anak tongkrongan. Mulai merokok, tatkala dinasehati hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tidak jarang mereka membantah orangtuanya. Padahal, kedua orangtuanya rajin ibadah, soleh, perhatian dan telah memberikan yang terbaik. Ini adalah ujian, seperti rekam jejak yang terjadi pada Nabi Nuh yang memiliki anak pembangkang.
4. Uang Haram/Syubhat
Ini dia satu hal yang sensitif. Butuh kejujuran terdalam dari semua orang tua di dunia ini. Adakah uang haram/syubhat yang masuk ke dalam perut anak-anaknya? Jika iya, tidak heran jika buah hatinya berkelakuan nakal.
Solusi :
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment