1. Anak Yang suka Mencuri
Analisis Hipotesis
Ada 4 hal yang menyebabkan anak mencuri adalah sbb:
a. Anak mencuri karena dia adalah anak yang impulsif. Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan seketika.
b. Anak yang membutuhkan perhatian, karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh aktifitas. Waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri, dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anaknya menyendiri.
c. Tipe anak yang egosentrik, anak-anak yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan harus dia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang lain, ini milik saya sebab orang pun harus tunduk pada keinginannya.
d. Tipe keempat adalah anak yang bermasalah. Atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang sebetulnya kompulsif anak-anak yang mempunyai problem perilaku, di mana dia harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan tapi dia mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.
Situasi-situasi yang mendukung anak melakukan tindakan mencuri, yaitu:
a. Situasi yang sangat kurang pengawasan terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita.
b. Sangat kurangnya penanaman hati nurani pada diri anak, sehingga anak-anak itu tidak tahu lagi benar salah. Tidak pernah diajarkan mana yang baik mana yang kurang baik, sehingga akhirnya mencuri bukan sesuatu yang salah baginya.
c. Kurangnya pengawasan terhadap anak sehingga anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya.
d. Situasi ekonomi yang lemah dalam pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang tapi kebetulan tinggal di lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya. Jadi teman-temannya memakai baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk memilikinya.
e. Situasi budaya, budaya yang membolehkan pencurian. Yaitu sistem kehidupan/ cara hidup di lingkungan-lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi orang mencuri atau mengambil barang orang lain.
Biasanya ini dilakukan kepada orang-orang yang lebih berada, dan dilakukan selama itu tidak terlalu merugikan pemiliknya. Atau juga dengan merasionalisasi bahwa seharusnya orang membagikan hartanya dengan dia yang tak punya. Contoh : tokoh Robin Hood, Jessie James (mencuri tapi membagikan kepada orang-orang miskin).
Mencuri pada dasarnya mempunyai sistem imbalan yang tersendiri, yaitu:
a. Imbalan pertama secara psikologis, emosional. Adanya kepuasan karena kita bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, kita sedikit lebih berani untuk melakukan hal yang menegangkan.
b. Selain imbalan dalam mencuri kita bisa memiliki yang dimiliki orang lain, nah ini juga menimbulkan satu kepuasan.
c. Kita bisa menikmati hasil curian itu, dengan uang yang kita miliki kita bisa beli barang-barang yang kita inginkan.
Nah akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri, ini yang membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.
Solusi :
Yang perlu kita lakukan sebagai orang tua dan Guru terhadap anak yang mencuri:
Melakukan sistem sanksi, salah satu sistem yang bisa diterapkan adalah bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalikan ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.
2. Anak Yang suka Tawuran
Analisis Hipotesis
1. Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Tawuran yang selalu terjadi apabila dapat dikatakan hampir setiap bulan minggu bahkan mungkin hari selalu terjadi perkelahian antar pelajar yang kadang-kadang berujung dengan hilangnya satu nyawa pelajar secara sia-sia. Pelajar yang seharusnya menimba ilmu di sekolah untuk masa depan yang lebih baik menjadi penerus bangsa malah berkeliaran diluar.
2. Tawuran pelajar yang terjadi bertubi-tubi, khususnya di Jakarta, telah mencapai taraf yang memprihatinkan. Serempak, baik masyarakat maupun pemerintah, mengecap anak-anak ini sebagai pelaku kriminal, penjahat yang perlu dihukum seberat-beratnya. Semua orang pasti mempertanyakan “Pernahkah kita berfikir, mengapa anak-anak tega membunuh temannya sendiri? Apakah tidak ada andil dari pihak lain yang menyebabkan anak tega melakukan tindakan seperti ini?”. dan menurut saya yang harusnya patut dipertanyakan tentang tanggung jawab itu yaitu ke pihak keluarga mereka masing. Salah satu faktor penyebab terjadinya tawuran antarpelajar ialah ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam melindungi anak. Padahal, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) Pasal 26 Ayat 1 telah ditegaskan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab dalam melindungi anak, baik dalam hal mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi, maupun mengembangkan bakat anak. Karena agak tidak tepat sasaran kalau kita menyalahkan pihak sekolah atas terjadinya tawuran. Karena mungkin pihak sekolah bukannya seperti menutup mata atas apa yang terjadi pada anak didiknya tapi itu semua karena terbatasnya kewajiban mereka sebagai pendidik, yang secara tidak langsung dapat dikatakan pihak sekolah tidak dapat selalu memantau apa yang terjadi diluar sekolah karena banyaknya anak-anak yang harus mereka pantau.
3. Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Solusi Permasalahan :
Berikut ini saya akan memaparkan beberapa solusi alternative yang mungkin akan dapat berguana untuk mengurangi tawauran antar pelajar ini:
Para Siswa wajib diajarkan dan memahami bahwa semua permasalahan tidak akan selesai jika penyelesaiannya dengan menggunakan kekerasan.
Lakukan komunikasi dan pendekatan secara khusus kepada para pelajar untuk mengajarkan cinta kasih.
Pengajaran ilmu beladiri yang mempunyai prinsip penggunaan untuk menyelamatkan orang dan bukan untuk menyakiti orang lain.
Ajarkan ilmu sosial Budaya, ilmu sosial budaya sangat bermanfaat untuk pelajar khususnya, yaitu agar tidak salah menempatkan diri di lingkungan masyarakat.
Bagi para orang tua, mulailah belajar jadi sahabat anak-anaknya. Jangan jadi polisi, hakim atau orang asing dimata anak. Hal ini sangat penting untuk memasuki dunia mereka dan mengetahui apa yang sedang mereka pikirkan atau rasakan. Jadi kalau ada masalah dalam kehidupan mereka orang tua bisa segera ikut menyelesaikan dengan bijak dan dewasa.
Bagi para Polisi dan aparat keamanan, jangan segan dan aneh untuk dekat dengan para pelajar secara profesional, khususnya yang bermasalah-bermasalah itu. Lebih baik tidak menggunakan acara-acara formal dalam pendekatan ini, melainkan masuk dengan cara santai dan rileks. Upama ketika para pelajar ini cangkrukkan atau kumpul-kumpul, ikutlah kumpul dengan mereka secara kekeluargaan dan gaul, sehingga mereka akan merasa ada kepedulian dari negara atas masalah mereka. Aparat Polisi dan keamanan yang gaul dan bisa mereka terima akan menjadi kode bahwa negara memperhatikan generasi ‘lupa diri’ ini untuk kembali menjadi ingat bahwa tak ada alasan yang cukup kuat bagi mereka menggelar tawuran.
Pada awal masuk sekolah, sebagian pelajar yang tawuran ini sebenarnya jarang yang saling kenal. Jika kemudian mereka menjadi beringas dengan orang yang sama sekali sebelumnya tak dikenal, karena ada kata-kata, dendam, slogan, pemikiran, hasutan dan sejenisnya yang masuk kepada mereka dari senior atau orang luar tentang kejelekan sesama pelajar yang akhirnya jadi musuh. Inilah bahaya mulut, otak dan hati yang harus dibersihkan kemudian diluruskan. Tak mungkin clurit berbicara jika ketiga unsur tadi tidak rusak sebelumnya. Razia terhadap benda-benda tajam itu mungkin efektif dalam masa pendek, namun untuk jangka panjang perlu dirumuskan bagaimana melakukan brainwash kepada para pelajar ini agar kembali ke jalan yang benar.
Buat sekolah khusus dalam lingkungan penuh disiplin dan ketertiban bagi mereka yang terlibat tawuran. Ini adalah cara memutus tali dendam dan masalah dalam dunia pelajar kita. Jadi siapapun dan dari sekolah manapun yang terlibat tawuran, segera tangkap dan masukkan dalam sekolah khusus yang memiliki kurikulum khusus bagi mereka. Dengan jalan tersebut, setidaknya teman atau adik kelas mereka tak akan lagi terpengaruh oleh ide-ide gila anak-anak yang suka tawuran ini. Tentu semua hal tersebut harus didukung penuh oleh pemerintah dan semua pihak karena biaya dan tenaga yang dibutuhkan awalnya akan sangat besar. Tapi apalah artinya semua itu jika akhirnya kita akan menemukan kedamaian dalam dunia pendidikan kita.
Perbanyaklah Kegiatan Ekstrakulikuler di Sekolah. Kegiatan yang biasa dilakukan sehabis selesai KBM dapat mencegah sang pelajar dari kegiatan-kegiatan yang negatif. Misalkan ekskul futsal, setelah selesai futsal pelajar pasti kelelahan sehingga tidak ada waktu untuk keluyuran malam atau hang out dengan teman lainnya.
Pengembangan bakat dan minat pelajar. Setiap sekolah perlu mengkaji salah satu metode ini, sebagai acuan sekolah dalam mengarahkan mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan tentunya orangtua pun menyetujuinya. Penelusuran bakat dan minat bisa mengarahkan potensi dan bakat mereka yang terpendam.
Pendidikan Agama dari sejak dini. Sangat penting sekali karena apabila seorang pelajar memiliki basic agama yang baik tentunya bisa mencegah pelajar tersebut untuk berbuat yang tidak terpuji karena mereka mengetahui akibatnya dari perbuatan tersebut. Agama harus ditanamkan sejak dini, banyak sekolah-sekolah atau madrasah yang bisa menjadi referensi pendidikan seorang anak dan biasanya mulai KBMnya siang setelah selesai sekolah dasar. Dasar agama yang kuat membuat seorang pelajar memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya.
Boarding School (Sekolah berasrama). Bisa menjadi salah satu alternatif mencegah pelajar dari tawuran. Biasanya di sekolah ini, waktu belajar lebih lama dari sekolah umum. Ada yang sampai jam 4 sore, setelah maghrib ngaji atau pelajaran agama. Selesai isya pelajar biasanya pergi ke perpustakaan untuk belajar atau mengerjakan tugas. Jam 8 malam, pelajar baru bisa istirahat atau lainnya. Sekolah ini sangat efektif menurut saya, pelajar tidak ada waktu untuk berinteraksi dengan dunia luar karena kesibukan mereka. Interaksi ada namun hanya satu kali dalam seminggu.
3. Anak Yang Nakal
Analisis Hipotesis
Dari sekian banyak karunia di dunia adalah memiliki anak. Seperti koin yang memilki dua sisi, anak selain sebagai karunia bisa jadi ujian bagi kedua orang tuanya. Menarik ketika membicarakan pendidikan psikologis anak. Ada empat faktor yang menjadi penyebab mengapa anak-anak menjadi nakal (baca: kreatif)
1. Kreatif
Usia anak-anak apalagi saat TK dan SD menjadi masa paling aktif secara motorik bagi anak-anak. Kenakalan anak-anak seperti berbuat kegaduhan, membuat hal-hal aneh merupakan kreativitas mereka sebagai anak di usia produktif. Jangan hambat mereka, namun arahkan ke hal yang menarik dan tidak membahayakan.
2. Caper (Cari Perhatian)
Ayah lagi asyik maen laptop, si kecil malah naek ke atas meja. Bunda lagi masak, si kecil malah maen perang-perangan pake timun sambil dilempar-lempar. Yess, mereka cari-cari perhatian. Rumusnya, jaga terus hubungan batin anak-orang tua. Jangan lupa terus katakan, ayah/bunda sayang kamu, Nak.
3. Ujian
Kenakalan anak mulai terasa merepotkan tatkala mereka remaja. Anak mulai bergaul dengan anak-anak tongkrongan. Mulai merokok, tatkala dinasehati hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tidak jarang mereka membantah orangtuanya. Padahal, kedua orangtuanya rajin ibadah, soleh, perhatian dan telah memberikan yang terbaik. Ini adalah ujian, seperti rekam jejak yang terjadi pada Nabi Nuh yang memiliki anak pembangkang.
4. Uang Haram/Syubhat
Ini dia satu hal yang sensitif. Butuh kejujuran terdalam dari semua orang tua di dunia ini. Adakah uang haram/syubhat yang masuk ke dalam perut anak-anaknya? Jika iya, tidak heran jika buah hatinya berkelakuan nakal.
Solusi Permasalahan :
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
4. Anak yang suka Berbohong
Analisis Hipotesis
Berdasarkan pengalaman ayah Edy, seoarang pakar parenting, anak (suka) berbohong karena pada awalnya mencontoh orang-orang terdekatnya, siapapun orang itu dan sekecil apa pun kebohongan itu. Salah satu contoh kebohongan kecil yang (mungkin) sering dilakukan orang tua adalah ketika ada tamu tak diundang yang bernama pengemis, orang tua berkata, “Dek, bilang mama gak ada ya…”. Karena melihat orang-orang terdekatnya berbohong, si anak mengira bahwa bebohong itu wajar-wajar saja dan boleh dilakukan. Akhirnya si anak pun mulai berbohong. Jadi, faktor pertama anak (suka) berbohong adalah karena ada yang dicontoh. Tidak mungkin seorang anak tiba-tiba suka berbohong jika tidak ada yang dicontoh.
Faktor kedua, orang tua seringkali ingin jawaban yang bagus-bagus dari sang anak. Jika anak cerita tantang sesuatu yang jelek, yang tidak menyenangkan, sering kali orang tua marah-marah. Orang tua tidak siap dengan jawaban yang tidak bagus. Jadinya, kejujuran anak seringkali dibalas dengan emosi. Contoh: suatu hari sang anak bolos sekolah, lalu orang tua mengatahui kalau anaknya bolos sekolah.
“adek tadi bolos sekolah ya?”
“iya” jawab sang anak
“Adek ini, mama sudah susah-susah nyekolahin, malah sekolah gak bener..!! mau jadi apa kamu!!”
Nah, kebanyakan orang tua suka marah-marah seperti ini. Jadinya di kesempatan berikutnya si anak berbohong karena takut dimarahi orang tuanya. Sebenarnya si anak tidak memiliki niat jahat. Ia hanya ingin cari aman saja. Padahal kalau orang tua gak marah-marah, orang tua mau mencari penyebab kenapa anak bolos sekolah, kemudian membantu anak untuk menyelesaikan permasalahannya, malah orang tua mau menasehati sang anak dengan lembut dan memotivasi anak agar lebih giat belajar, kemungkinan besar anak tidak akan berbohong.
Solusi Permasalahan :
Kalau penyebabnya karena ada yang dicontoh, solusinya adalah mengubah sikap yang dicontoh. Jika bunda merasa pernah berbohong kepada anak, katakana pada anak, “sayang, kalau kamu berbohong karena mencontoh mama, maafkan mama ya. Mama berjanji tidak akan berbohong lagi. Tolong bantu mama ya.. kalau mama berbohong, tolong adek ingatkan”. Jadi memang harus ada komitmen yang dibangun oleh orang tua untuk mengoreksi diri. Kalau orang tua mau berubah, insyaalloh anak pun akan berubah.
Kemudian, jika selama ini orang tua sering marah-marah kalau mendengar atau mengetahui bahwa si anak (mungkin) melakukan kesalahan, maka mulai sekarang kebiasaan ini harus dirubah. Dengarkan jawaban anak tanpa memarahinya. Apapun jawabannya. Kita sebagai orang tua mestinya bersyukur jika anak kita masih mau berkata jujur kepada kita. Jadi anak kita masih percaya kepada kita. Ingat..!! marah tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Bayangkan kalau anak sudah terlanjur memakai narkoba. Kalau orang tuanya marah-marah saja, apa ini akan menyelesaikan masalah?! Justru melihat orang tuanya marah, mungkin ia malah akan terus melakukannya. Sebaliknya, jika orang tua mau menerima si anak apa adanya, orang tua mau membantu anak menyelesaikan masalahnya, orang tua mau bekerja sama dengan anak, kemungkinan besar “kerusakan” itu bisa diperbaiki sedikit demi sedikit.
Analisis Hipotesis
Ada 4 hal yang menyebabkan anak mencuri adalah sbb:
a. Anak mencuri karena dia adalah anak yang impulsif. Impulsif berarti seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk mempunyai sesuatu, dan waktu dia menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan seketika.
b. Anak yang membutuhkan perhatian, karena hidup di lingkungan yang kurang sekali perhatian, dia sangat butuh aktifitas. Waktu dia membutuhkan aktifitas, yang dilakukan ialah mencuri, dengan dia mencuri dia bisa membeli barang yang ia inginkan sebab di rumah atau di sekolah kemungkinan besar dia tidak mendapatkan perhatian, jadi anaknya menyendiri.
c. Tipe anak yang egosentrik, anak-anak yang sangat egois di mana keinginannya tidak boleh dibendung, yang dia inginkan harus dia dapatkan, dia tidak mengenal batas milik, bahwa ini milik orang lain, ini milik saya sebab orang pun harus tunduk pada keinginannya.
d. Tipe keempat adalah anak yang bermasalah. Atau yang lebih sering disebut kleptomania yaitu anak-anak yang sebetulnya kompulsif anak-anak yang mempunyai problem perilaku, di mana dia harus mencuri meskipun dia tidak membutuhkan barang yang dia inginkan tapi dia mengambilnya, karena itu suatu perilaku yang harus dia lakukan.
Situasi-situasi yang mendukung anak melakukan tindakan mencuri, yaitu:
a. Situasi yang sangat kurang pengawasan terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita.
b. Sangat kurangnya penanaman hati nurani pada diri anak, sehingga anak-anak itu tidak tahu lagi benar salah. Tidak pernah diajarkan mana yang baik mana yang kurang baik, sehingga akhirnya mencuri bukan sesuatu yang salah baginya.
c. Kurangnya pengawasan terhadap anak sehingga anak-anak bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya.
d. Situasi ekonomi yang lemah dalam pengertian sangat susah, bisa juga yang sedang tapi kebetulan tinggal di lingkungan yang melampaui kemampuan ekonominya. Jadi teman-temannya memakai baju yang bagus, cincin yang bagus atau apa, akhirnya dia juga tergoda untuk memilikinya.
e. Situasi budaya, budaya yang membolehkan pencurian. Yaitu sistem kehidupan/ cara hidup di lingkungan-lingkungan tertentu yang seolah-olah memberikan toleransi orang mencuri atau mengambil barang orang lain.
Biasanya ini dilakukan kepada orang-orang yang lebih berada, dan dilakukan selama itu tidak terlalu merugikan pemiliknya. Atau juga dengan merasionalisasi bahwa seharusnya orang membagikan hartanya dengan dia yang tak punya. Contoh : tokoh Robin Hood, Jessie James (mencuri tapi membagikan kepada orang-orang miskin).
Mencuri pada dasarnya mempunyai sistem imbalan yang tersendiri, yaitu:
a. Imbalan pertama secara psikologis, emosional. Adanya kepuasan karena kita bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, kita sedikit lebih berani untuk melakukan hal yang menegangkan.
b. Selain imbalan dalam mencuri kita bisa memiliki yang dimiliki orang lain, nah ini juga menimbulkan satu kepuasan.
c. Kita bisa menikmati hasil curian itu, dengan uang yang kita miliki kita bisa beli barang-barang yang kita inginkan.
Nah akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri, ini yang membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.
Solusi :
Yang perlu kita lakukan sebagai orang tua dan Guru terhadap anak yang mencuri:
Melakukan sistem sanksi, salah satu sistem yang bisa diterapkan adalah bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalikan ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.
2. Anak Yang suka Tawuran
Analisis Hipotesis
1. Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Tawuran yang selalu terjadi apabila dapat dikatakan hampir setiap bulan minggu bahkan mungkin hari selalu terjadi perkelahian antar pelajar yang kadang-kadang berujung dengan hilangnya satu nyawa pelajar secara sia-sia. Pelajar yang seharusnya menimba ilmu di sekolah untuk masa depan yang lebih baik menjadi penerus bangsa malah berkeliaran diluar.
2. Tawuran pelajar yang terjadi bertubi-tubi, khususnya di Jakarta, telah mencapai taraf yang memprihatinkan. Serempak, baik masyarakat maupun pemerintah, mengecap anak-anak ini sebagai pelaku kriminal, penjahat yang perlu dihukum seberat-beratnya. Semua orang pasti mempertanyakan “Pernahkah kita berfikir, mengapa anak-anak tega membunuh temannya sendiri? Apakah tidak ada andil dari pihak lain yang menyebabkan anak tega melakukan tindakan seperti ini?”. dan menurut saya yang harusnya patut dipertanyakan tentang tanggung jawab itu yaitu ke pihak keluarga mereka masing. Salah satu faktor penyebab terjadinya tawuran antarpelajar ialah ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam melindungi anak. Padahal, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) Pasal 26 Ayat 1 telah ditegaskan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab dalam melindungi anak, baik dalam hal mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi, maupun mengembangkan bakat anak. Karena agak tidak tepat sasaran kalau kita menyalahkan pihak sekolah atas terjadinya tawuran. Karena mungkin pihak sekolah bukannya seperti menutup mata atas apa yang terjadi pada anak didiknya tapi itu semua karena terbatasnya kewajiban mereka sebagai pendidik, yang secara tidak langsung dapat dikatakan pihak sekolah tidak dapat selalu memantau apa yang terjadi diluar sekolah karena banyaknya anak-anak yang harus mereka pantau.
3. Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Solusi Permasalahan :
Berikut ini saya akan memaparkan beberapa solusi alternative yang mungkin akan dapat berguana untuk mengurangi tawauran antar pelajar ini:
Para Siswa wajib diajarkan dan memahami bahwa semua permasalahan tidak akan selesai jika penyelesaiannya dengan menggunakan kekerasan.
Lakukan komunikasi dan pendekatan secara khusus kepada para pelajar untuk mengajarkan cinta kasih.
Pengajaran ilmu beladiri yang mempunyai prinsip penggunaan untuk menyelamatkan orang dan bukan untuk menyakiti orang lain.
Ajarkan ilmu sosial Budaya, ilmu sosial budaya sangat bermanfaat untuk pelajar khususnya, yaitu agar tidak salah menempatkan diri di lingkungan masyarakat.
Bagi para orang tua, mulailah belajar jadi sahabat anak-anaknya. Jangan jadi polisi, hakim atau orang asing dimata anak. Hal ini sangat penting untuk memasuki dunia mereka dan mengetahui apa yang sedang mereka pikirkan atau rasakan. Jadi kalau ada masalah dalam kehidupan mereka orang tua bisa segera ikut menyelesaikan dengan bijak dan dewasa.
Bagi para Polisi dan aparat keamanan, jangan segan dan aneh untuk dekat dengan para pelajar secara profesional, khususnya yang bermasalah-bermasalah itu. Lebih baik tidak menggunakan acara-acara formal dalam pendekatan ini, melainkan masuk dengan cara santai dan rileks. Upama ketika para pelajar ini cangkrukkan atau kumpul-kumpul, ikutlah kumpul dengan mereka secara kekeluargaan dan gaul, sehingga mereka akan merasa ada kepedulian dari negara atas masalah mereka. Aparat Polisi dan keamanan yang gaul dan bisa mereka terima akan menjadi kode bahwa negara memperhatikan generasi ‘lupa diri’ ini untuk kembali menjadi ingat bahwa tak ada alasan yang cukup kuat bagi mereka menggelar tawuran.
Pada awal masuk sekolah, sebagian pelajar yang tawuran ini sebenarnya jarang yang saling kenal. Jika kemudian mereka menjadi beringas dengan orang yang sama sekali sebelumnya tak dikenal, karena ada kata-kata, dendam, slogan, pemikiran, hasutan dan sejenisnya yang masuk kepada mereka dari senior atau orang luar tentang kejelekan sesama pelajar yang akhirnya jadi musuh. Inilah bahaya mulut, otak dan hati yang harus dibersihkan kemudian diluruskan. Tak mungkin clurit berbicara jika ketiga unsur tadi tidak rusak sebelumnya. Razia terhadap benda-benda tajam itu mungkin efektif dalam masa pendek, namun untuk jangka panjang perlu dirumuskan bagaimana melakukan brainwash kepada para pelajar ini agar kembali ke jalan yang benar.
Buat sekolah khusus dalam lingkungan penuh disiplin dan ketertiban bagi mereka yang terlibat tawuran. Ini adalah cara memutus tali dendam dan masalah dalam dunia pelajar kita. Jadi siapapun dan dari sekolah manapun yang terlibat tawuran, segera tangkap dan masukkan dalam sekolah khusus yang memiliki kurikulum khusus bagi mereka. Dengan jalan tersebut, setidaknya teman atau adik kelas mereka tak akan lagi terpengaruh oleh ide-ide gila anak-anak yang suka tawuran ini. Tentu semua hal tersebut harus didukung penuh oleh pemerintah dan semua pihak karena biaya dan tenaga yang dibutuhkan awalnya akan sangat besar. Tapi apalah artinya semua itu jika akhirnya kita akan menemukan kedamaian dalam dunia pendidikan kita.
Perbanyaklah Kegiatan Ekstrakulikuler di Sekolah. Kegiatan yang biasa dilakukan sehabis selesai KBM dapat mencegah sang pelajar dari kegiatan-kegiatan yang negatif. Misalkan ekskul futsal, setelah selesai futsal pelajar pasti kelelahan sehingga tidak ada waktu untuk keluyuran malam atau hang out dengan teman lainnya.
Pengembangan bakat dan minat pelajar. Setiap sekolah perlu mengkaji salah satu metode ini, sebagai acuan sekolah dalam mengarahkan mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan tentunya orangtua pun menyetujuinya. Penelusuran bakat dan minat bisa mengarahkan potensi dan bakat mereka yang terpendam.
Pendidikan Agama dari sejak dini. Sangat penting sekali karena apabila seorang pelajar memiliki basic agama yang baik tentunya bisa mencegah pelajar tersebut untuk berbuat yang tidak terpuji karena mereka mengetahui akibatnya dari perbuatan tersebut. Agama harus ditanamkan sejak dini, banyak sekolah-sekolah atau madrasah yang bisa menjadi referensi pendidikan seorang anak dan biasanya mulai KBMnya siang setelah selesai sekolah dasar. Dasar agama yang kuat membuat seorang pelajar memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya.
Boarding School (Sekolah berasrama). Bisa menjadi salah satu alternatif mencegah pelajar dari tawuran. Biasanya di sekolah ini, waktu belajar lebih lama dari sekolah umum. Ada yang sampai jam 4 sore, setelah maghrib ngaji atau pelajaran agama. Selesai isya pelajar biasanya pergi ke perpustakaan untuk belajar atau mengerjakan tugas. Jam 8 malam, pelajar baru bisa istirahat atau lainnya. Sekolah ini sangat efektif menurut saya, pelajar tidak ada waktu untuk berinteraksi dengan dunia luar karena kesibukan mereka. Interaksi ada namun hanya satu kali dalam seminggu.
3. Anak Yang Nakal
Analisis Hipotesis
Dari sekian banyak karunia di dunia adalah memiliki anak. Seperti koin yang memilki dua sisi, anak selain sebagai karunia bisa jadi ujian bagi kedua orang tuanya. Menarik ketika membicarakan pendidikan psikologis anak. Ada empat faktor yang menjadi penyebab mengapa anak-anak menjadi nakal (baca: kreatif)
1. Kreatif
Usia anak-anak apalagi saat TK dan SD menjadi masa paling aktif secara motorik bagi anak-anak. Kenakalan anak-anak seperti berbuat kegaduhan, membuat hal-hal aneh merupakan kreativitas mereka sebagai anak di usia produktif. Jangan hambat mereka, namun arahkan ke hal yang menarik dan tidak membahayakan.
2. Caper (Cari Perhatian)
Ayah lagi asyik maen laptop, si kecil malah naek ke atas meja. Bunda lagi masak, si kecil malah maen perang-perangan pake timun sambil dilempar-lempar. Yess, mereka cari-cari perhatian. Rumusnya, jaga terus hubungan batin anak-orang tua. Jangan lupa terus katakan, ayah/bunda sayang kamu, Nak.
3. Ujian
Kenakalan anak mulai terasa merepotkan tatkala mereka remaja. Anak mulai bergaul dengan anak-anak tongkrongan. Mulai merokok, tatkala dinasehati hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Tidak jarang mereka membantah orangtuanya. Padahal, kedua orangtuanya rajin ibadah, soleh, perhatian dan telah memberikan yang terbaik. Ini adalah ujian, seperti rekam jejak yang terjadi pada Nabi Nuh yang memiliki anak pembangkang.
4. Uang Haram/Syubhat
Ini dia satu hal yang sensitif. Butuh kejujuran terdalam dari semua orang tua di dunia ini. Adakah uang haram/syubhat yang masuk ke dalam perut anak-anaknya? Jika iya, tidak heran jika buah hatinya berkelakuan nakal.
Solusi Permasalahan :
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“
Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”
Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”
Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
4. Anak yang suka Berbohong
Analisis Hipotesis
Berdasarkan pengalaman ayah Edy, seoarang pakar parenting, anak (suka) berbohong karena pada awalnya mencontoh orang-orang terdekatnya, siapapun orang itu dan sekecil apa pun kebohongan itu. Salah satu contoh kebohongan kecil yang (mungkin) sering dilakukan orang tua adalah ketika ada tamu tak diundang yang bernama pengemis, orang tua berkata, “Dek, bilang mama gak ada ya…”. Karena melihat orang-orang terdekatnya berbohong, si anak mengira bahwa bebohong itu wajar-wajar saja dan boleh dilakukan. Akhirnya si anak pun mulai berbohong. Jadi, faktor pertama anak (suka) berbohong adalah karena ada yang dicontoh. Tidak mungkin seorang anak tiba-tiba suka berbohong jika tidak ada yang dicontoh.
Faktor kedua, orang tua seringkali ingin jawaban yang bagus-bagus dari sang anak. Jika anak cerita tantang sesuatu yang jelek, yang tidak menyenangkan, sering kali orang tua marah-marah. Orang tua tidak siap dengan jawaban yang tidak bagus. Jadinya, kejujuran anak seringkali dibalas dengan emosi. Contoh: suatu hari sang anak bolos sekolah, lalu orang tua mengatahui kalau anaknya bolos sekolah.
“adek tadi bolos sekolah ya?”
“iya” jawab sang anak
“Adek ini, mama sudah susah-susah nyekolahin, malah sekolah gak bener..!! mau jadi apa kamu!!”
Nah, kebanyakan orang tua suka marah-marah seperti ini. Jadinya di kesempatan berikutnya si anak berbohong karena takut dimarahi orang tuanya. Sebenarnya si anak tidak memiliki niat jahat. Ia hanya ingin cari aman saja. Padahal kalau orang tua gak marah-marah, orang tua mau mencari penyebab kenapa anak bolos sekolah, kemudian membantu anak untuk menyelesaikan permasalahannya, malah orang tua mau menasehati sang anak dengan lembut dan memotivasi anak agar lebih giat belajar, kemungkinan besar anak tidak akan berbohong.
Solusi Permasalahan :
Kalau penyebabnya karena ada yang dicontoh, solusinya adalah mengubah sikap yang dicontoh. Jika bunda merasa pernah berbohong kepada anak, katakana pada anak, “sayang, kalau kamu berbohong karena mencontoh mama, maafkan mama ya. Mama berjanji tidak akan berbohong lagi. Tolong bantu mama ya.. kalau mama berbohong, tolong adek ingatkan”. Jadi memang harus ada komitmen yang dibangun oleh orang tua untuk mengoreksi diri. Kalau orang tua mau berubah, insyaalloh anak pun akan berubah.
Kemudian, jika selama ini orang tua sering marah-marah kalau mendengar atau mengetahui bahwa si anak (mungkin) melakukan kesalahan, maka mulai sekarang kebiasaan ini harus dirubah. Dengarkan jawaban anak tanpa memarahinya. Apapun jawabannya. Kita sebagai orang tua mestinya bersyukur jika anak kita masih mau berkata jujur kepada kita. Jadi anak kita masih percaya kepada kita. Ingat..!! marah tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Bayangkan kalau anak sudah terlanjur memakai narkoba. Kalau orang tuanya marah-marah saja, apa ini akan menyelesaikan masalah?! Justru melihat orang tuanya marah, mungkin ia malah akan terus melakukannya. Sebaliknya, jika orang tua mau menerima si anak apa adanya, orang tua mau membantu anak menyelesaikan masalahnya, orang tua mau bekerja sama dengan anak, kemungkinan besar “kerusakan” itu bisa diperbaiki sedikit demi sedikit.
No comments:
Post a Comment