A. Kurikulum 2013 vs Realita Guru Indonesia Sebuah Kritik untuk masa depan Pendidikan Indonesia
Pendidikan memang harus berubah itulah mungkin yang menjadi perdebatan para ahli pendidikan dan pemerintah yang akhirnya menyatakan bahwa kurikulum 2006 telah gagal membawa negara lebih baik dibidang pendidikan. Untuk itulah pemerintah kini sedang menggodok kurikulum 2013 yang bakal menjadi pengganti kurikulum sebelumnya. Sejak kurikulum 2006 dimulai ternyata kasus demi tetap datang bergelombang, dari mulai materi yang terlalu padat, buku pelajaran yang diseragamkan, dan kemampuan guru yang lemah dalam implementasikan kurikulum tersebut. Belum lagi masalah moral yang belum berhenti seperti tawuran pelajar, bullying, contekan masal. Ditambah lagi dengan rendahnya sistem pengelolaan pendidikan ditingkat lokal, dimana pendidikan menjadi praktik jual beli, penyelewangan dana BOS, pemalakan sekolah oleh oknum UPTD, pengawas dan praktik jual beli jabatan kepala sekolah.
Kini Kurikulum 2013 yang sedang masuk tahap uji publik pun mulai mendapat kritik. Saya berpendapat bahwa penggantian kurikulum bukanlah solusi tepat untuk merubah pendidikan yang lebih baik. Asalkan kita tahu, untuk tingkat SD saat ini ada sepuluh mata pelajaran yang diajari yaitu, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, seni budaya dan keterampilan, pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, serta muatan lokal dan pengembangan diri. Tapi versi kurikulum 2013 nanti yaitu mulai tahun ajaran 2013/2014 jumlah mata pelajaran akan diringkas menjadi tujuh, yaitu pendidikan Agama, pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, seni budaya dan prakarya, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, serta Pramuka.
Saya setuju dengan pendapat Pro HAR Tillar Guru Besar Emiritus UNJ yang mengatakan bahwa kurikulum bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah sarana. Dia menyangsikan kalau pembuat kurikulum ini tidak mengerti tujuan dari kurikulum yang sebenarnya. Dan bukan sekadar menjadi proyek jabatan semata. dan seharusnya tujuan kurikulum mesti mampu menjadikan anak bangsa mengelola Sumber Daya Alam dan budaya guna meningkatkan taraf hidup.
B. Penggabungan mata pelajaran SD
Salah satu yang “menarik” dari kurikulum 2013 ini adalah penggabungan mata pelajaran seperti IPA-IPS di tingkat SD. Bagaimana mungkin jika rencana pemerintah untuk menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran tetapi pada saat bersamaan menghilangkan (atau) menggbaungkan pelajaran sains dengan bahasa Indonesia. Belum lagi ide tentang menggunakan IPA dan IPS sebagai materi pembahasan pada semua mata pelajaran. Ini akan berakibat dengan menumpuknya materi IPA dan IPS pada bahasa Indonesia. Jika diawal dinyatakan bahwa ini dilakukan karena beban materi yang sangat banyak (berimbas dengan buku paket dan LKS yang banyak) seperti di IPA, Sains dll hal ini bisa disiasati dengan mengurangi bahan materi dan mengubah pola pembelajaran. sebagai contoh: jika pembahasan matematika SD kelas 5 semester 1 terdapat 7 KD maka agar tidak merasa berat maka seharusnya dikurangi.
Kemudian dengan banyaknya buku paket dan LKS yang harus dibawa murid, seharusnya pemerintah bisa meniru pemerintah India yang kini sedang menerapkan penggunaan tablet digital murah sehingga siswa cukup membawa tablet berisi puluhan bahkan ratusan ebook dan buku tulis pelajaran, sehingga dapat mengurangi bobot siswa setiap kesekolah.
C. Penambahan Jam Pelajaran
Selain penggabungan matapelajaran pemerintah juga berencana menambah jam pembelajaran, menurut penelitian OECD. Table D1.1. See Annex 3 for notes (www.oecd.org/edu/eag2012). Bahwa Indonesia berada dibawah rata-rata negara lain dengan yang sekolah yang cukup jam belajar dimana Cuba dan australia menjadi no 1 dan 2 negara dengan terlama jam belajar. Tetapi jika kita kritisi tabel tersebut bisa kita lihat bahwa Jepang juga berada dibawah rata-rata. Pertanyaanya kenapa walaupun Jepang dibawah rata-rata normal tetapi mereka bisa begitu baik dalam dunia pendidikan? jawabannya karena pemerintah dan elemen pendidikan di Jepang diberlakukan cukup baik sehingga tidak perlu ada penambahan jam seperti yang terjadi di Cuba dan australia. Sedangkan di Indonesia carut marut pengelolaan pendidikan ada dimana-mana.
D. Guru-guru Indonesia yang “mengkhawatirkan”
Saya tidak mengatakan bahwa semua guru Indonesia berkwalitas rendah , walaupun hasil UKG yang lebih bersifat teoritis gagal diselesaikan (tidak tuntas) dengan baik oleh mayoritas guru Indonesia tetapi ini menjadi isu tersendiri. Dimana nantinya pelaksana kurikulum ini bukanlah pak menteri atau kepala dinas pendidikan daerah, tetapi tulang punggung kurikulum 2013 siapa lagi kalau bukan para guru-guru Indonesia. Ibarat motor sport tetapi jika pengendaranya adalah bukan pembalap ahli , maka motor tersebut akan dikendarai sangat pelan seperti naik motor tua, alon-alon dan tidak pernah menginjak gigi 5.
Belum lagi pemerasan dana pendidikan yang kadang-kadang “disedot” sana-sini baik oleh kepala sekolah sendiri dan para dinas atau UPTD yang berhasil mencairkan dana BOS/SBB untuk sekolah tertentu. akhirnya guru hanya menjadi para pekerja kasar untuk melaksakan hajat besar pemerintah ini. Jika kurikulum gagal maka pemerintah akan sekali lagi menyalahkan (mengkambing hitamkan) para “oemar bakrie” yang katanya tidak mampu mentransformasikan kehendak yang sudah digariskan oleh pemerintah. Ironis memang, guru seperti “potter” di stasiun. “cuci tangan” pemerintah telah berhasil dalam hal ini.
Belum lagi jika ada guru yang mecoba untuk meningkatkan pendidikannya, seperti program bea siswa S1 PNS, program ini pun “dimakan” oleh oknum diknas daerah dengan biaya 50% – 50% (maksudnya 50% uang dari buat guru dan 50% uangya di makan oleh oknum yang berhasil menggolkan program bea siswanya).
E. Proses Rekruitmen Guru
Wajar jika sekolah RSBI MH Thamrin mengajak lembaga pendidikan Yohannes Suryo untuk membantu memperbaiki kualitas pendidikannya, walaupun MH Thamrin diharuskan membayar milyaran rupiah tiap tahunnya. kenapa? ya karena guru-guru yang ada tidak memenuhi dan kurang memenuhi tuntutan kualitas pendidikan yang ada. resikonya jelas, kenaikan biaya pendidikan walaupun berstatus NEGERI !
Ironis lagi dengan sekolah negeri dipedalaman dan daerah dimana proses rekruitmen guru Honor kadang tidak mempertimbangkan kualitas individual. konon profesi guru menjadi profesi alternatif pilihan “daripada”. ya maksudnya daripada nganggur atau yang lainnya. maka jangan heran jika masih banyak guru SD belum S1 atau masih status SMA.
Tidak hanya sekolah negeri banyak juga swasta yang kadang melakukan proses rekruitmen dengan standar rendah. dimana kadang terjadi miss oriented dalam mata pelajaran tertentu. guru S1 bahasa Inggris harus mengajar matematika, S1 Matematika mengajar bahasa Arab, S1 Agama mengajar PKN. Fenomena ini ibarat gunung es yang jika dikaji lebih lanjut maka semua mata akan terbelalak.
F. Pro-Kontra Kurikulum 2013
Langkah dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengubah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) semakin mantap saja. Hasil studi yang dilakukan oleh lembaga survei pendidikan internasional (TIMSS dan PIRLS) pada 2011 tidak menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan pada kemampuan siswa Indonesia.
Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menjelaskan bahwa hasil yang diperoleh dari studi TIMSS pada tahun 2007 dan 2011 menunjukkan kemampuan siswa tidak mengalami peningkatan. Kebanyakan siswa hanya bisa menyelesaikan soal ke tingkat menengah saja sehingga disinyalir terdapat perbedaan pada bahan ajar di Indonesia dengan materi yang diujikan pada tingkat internasional. “Kemampuan matematikanya tidak beranjak dari 2007 hingga 2011. Begitu juga dengan kemampuan sainsnya,” kata Nuh.
Ia menambahkan, “Kami melihat ada ketidaksesuaian antara kompetensi dasar KTSP dengan materi TIMSS terutama matematika.” Banyak yang beranggapan bahwa kurikulum yang baru pada 2013 untuk menggantikan KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tidak akan membawa banyak perubahan. Konsep yang baru dari kurikulum 2013 dinilai sudah pernah ada pada kurikulum yang dahulu pernah digunakan.
Menurut Ferdiansyah selaku Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Golkar, sebenarnya konsep pembelajaran yang melibatkan anak atau siswa untuk aktif pada kegiatan belajar mengajar sudah pernah diterapkan pada kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). “Itu sebenarnya kan sudah pernah ada dalam kurikulum 1975 kalau tidak salah. Namanya CBSA, saya kan hasil dari CBSA itu,” jelas Ferdiansyah. Pendapat dari Jonner Sipangkar selaku Sekretaris Jenderal National Education Watch, juga mengatakan hal yang sama bahwa konsep yang ada pada kurikulum 2013 tidak ada yang baru. Gagasan yang dilakukan oleh kementrian Pendidikan dan Kebudayaan hanya mengulang dari kurikulum yang sudah pernah digunakan. Joner mengatakan, “tidak ada yang baru sebenarnya. Itu kan sama seperti CBSA, mendorong siswa untuk aktif. Lalu apa yang baru? Ini ganti nama saja artinya.”
Menurutnya, alasan yang coba dijelaskan oleh kementrian tidak mempunyai landasan yang kuat, malah terkesan seperti opini. “Memang pemerintah memberi alasan, tapi itu seperti hanya bohong-bohongan saja karena wujudnya opini. Tak ada hasil riset kenapa kurikulum harus diubah,” jelasnya.
G. Catatan Jurnalis tentang Pro kontra Kurikulum 2013
Perubahan kurikulum 2013 yang rencananya akan menggabungkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada Sekolah Dasar memang masih dimatangkan dan digodok tim ahli perumus perubahan kurikulum tahun 2013.
Namun pro dan kontra terkait dengan integrasi mata pelajaran IPA dan IPS untuk Sekolah Dasar (SD) mulai bermunculan. Seperti yang diukapkan beberapa Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di wilayah Kabupaten Bandung. Ketua PGRI Cimenyan, Cucu Supriadi, menentang keras rencana tersebut meskipun penggabungan IPA dan IPS untuk meringkas mata pelajaran menjadi pengetahuan umum. "Apa pun alasannya saya tidak setuju. Itu negatif buat siswa terutama untuk tingkat sekolah dasar," kata Cucu kepada wartawan melalui ponselnya, Selasa (23/10).Cucu mengatakan, akan banyak dampak negatif jika memang rencana tersebut terwujud. Ia mencontohkan, hilangnya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) membuat siswa tak lagi memiliki akhlak yang baik. "Itu alasannya banyak tawuran. Bahkan mulai anak SMP sudah mengenal seks," ujarnya. Selain itu, kata Cucu, murid SD tidak memiliki banyak pengetahuan yang banyak jika memang IPA dan IPS hilang. "Masa murid SD dijejelin matematika saja. Mau jadi apa bangsa ini sudah banyak korupsi merajalela," ujarnya.
Cucu mengatakan, kementerian pendidikan nasional (Kemendiknas) seharusnya melihat kenyataan di lapangan, bukan hanya mengkaji saja. Cucu menilai banyak dampak yang akan terjadi jika ada mata pelajaran yang diintegrasikan atau pun dihilangkan. "Rugilah anak-anak SD sekarang. Kalau begitu ganti saja Menterinya yang hanya bisa duduk di atas kursi saja," kata Cucu dengan tegas. Sedangkan dampak bagi guru yang mengajar IPA dan IPS, Cucu tidak mempersoalkannya. Ia hanya memperhatikan dampak bagi murid SD di mana menjadi titik awal belajar dan mencari ilmu. "Kalau guru kan bisa dimutasi. Tapi yang jelas semua dilihat dampak bagi murid bukan karena alasan pemerataan guru ke daerah-daerah yang kekurangan," katanya. Hal berbeda dikatakan Ketua PGRI Cileunyi, Ependi, ketika dihubungi awak media melalui ponselnya, Selasa (23/10). Ia mendukung rencana tersebut, asalkan perubahan kurikulum tersebut jelas dan diseusiakan materi penambahan mata pelajaran yang disesuaikan dengan globalisasi. "Kalau menurut saya bukan perubahan barangkali, tapi revisi yang mengarah peningkatan mutu anak. kalau untuk itu saya setuju," ujarnya.
Ependi mengaku tak setuju apabila ada penambahan jam belajar untuk murid tingkat SD. Sebab ia menilai murid SD sudah merasa kewalahan dengan 10 mata pelajaran yang sudah ada. "Kalau ditambah pastinya murid akan kalang kabut dan akan memberatkan bagi murid," ujarnya. Meski setuju, Ependi meminta rencana tersebut juga memikirkan nasib guru IPA dan IPS di tingkat SD jika memang teralisasi. Itu sebabnya rencana tersebut jangan lansung diketok palu jika belum memiliki solusi yang tepat lantaran jumlah guru di SD berlebih. "Kalau memang ada pengalihan mata pelajaran, gurunya juga harus jelas dialihkan ke mana," ujarnya.
Ketua PGRI Rancaekek, Yayat, mengatakan hal yang sama ketika ditemui wartawan di ruang kerjanya, Selasa (23/10). Selama itu program pemerintah dan meningkatkan kualitas pendidikan, Yayat sangat setuju. Yayat pun tak merasa khawatir terhadap nasib guru SD yang mengajar IPa dan IPS. Menurutnya, semua guru di SD tak memiliki fokus dalam satu mata pelajaran. Karena itu ia yakin guru yang tadinya mengajar IPA dan IPS bisa dialihkan ke mata pelajaran lain atau mata pelajaran pengganti IPA dan IPS. "KEcuali guru olah raga dan agama. Itu baru tidak bisa diganti," katanya. Sementara itu, Ketua PGRI Solokanjeruk, Rahamdan Hamdan Sopandi, tak mau berkomentar banyak terkait adanya rencana tersebut. Namun ia mengakui jika ada perubahan pasti ada dampak baik itu negatif maupun positif. "Sulit juga mengatakannya. Tapi sebaiknya rencana itu juga melihat damak bagi murid pada khususnya," kata pria yang akrab disapa Apih ketika dihubungi awak media melalui ponselnya, Selasa (23/10), Apih menilai, perubahan kurikulum itu sebetulnya mencari sesuatu yang pas untuk meningkatkan kualitas. Karena itu, kata Apih, Kemendiknas tak mungkin sembarangan dalam melakukan perencanaan. "Dampaknya memang belum tahu. Tapi yang jelas kami (guru-guru) menginginkan yang terbaik bagi murid dan pendidikan di Indonesia," kata Apih.(Dent/Uci)
H. Bagian akhir
Saya sepakat dengan usul yang lebih penting ketimbang membuat kurikulum baru yaitu pertama adalah membenahi guru , rekruitmen guru yang integritas dan memperbaiki sistem pendidikan didaerah baru selanjutnya silakan utak atik dan fokus ke kurikulum. Sebagus apapun kurikulumnya jika kemampuan guru sangat memprihatikan maka ini semua hanya menjadi ilusi dialektika semata
Pendidikan memang harus berubah itulah mungkin yang menjadi perdebatan para ahli pendidikan dan pemerintah yang akhirnya menyatakan bahwa kurikulum 2006 telah gagal membawa negara lebih baik dibidang pendidikan. Untuk itulah pemerintah kini sedang menggodok kurikulum 2013 yang bakal menjadi pengganti kurikulum sebelumnya. Sejak kurikulum 2006 dimulai ternyata kasus demi tetap datang bergelombang, dari mulai materi yang terlalu padat, buku pelajaran yang diseragamkan, dan kemampuan guru yang lemah dalam implementasikan kurikulum tersebut. Belum lagi masalah moral yang belum berhenti seperti tawuran pelajar, bullying, contekan masal. Ditambah lagi dengan rendahnya sistem pengelolaan pendidikan ditingkat lokal, dimana pendidikan menjadi praktik jual beli, penyelewangan dana BOS, pemalakan sekolah oleh oknum UPTD, pengawas dan praktik jual beli jabatan kepala sekolah.
Kini Kurikulum 2013 yang sedang masuk tahap uji publik pun mulai mendapat kritik. Saya berpendapat bahwa penggantian kurikulum bukanlah solusi tepat untuk merubah pendidikan yang lebih baik. Asalkan kita tahu, untuk tingkat SD saat ini ada sepuluh mata pelajaran yang diajari yaitu, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, seni budaya dan keterampilan, pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, serta muatan lokal dan pengembangan diri. Tapi versi kurikulum 2013 nanti yaitu mulai tahun ajaran 2013/2014 jumlah mata pelajaran akan diringkas menjadi tujuh, yaitu pendidikan Agama, pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, matematika, seni budaya dan prakarya, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, serta Pramuka.
Saya setuju dengan pendapat Pro HAR Tillar Guru Besar Emiritus UNJ yang mengatakan bahwa kurikulum bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah sarana. Dia menyangsikan kalau pembuat kurikulum ini tidak mengerti tujuan dari kurikulum yang sebenarnya. Dan bukan sekadar menjadi proyek jabatan semata. dan seharusnya tujuan kurikulum mesti mampu menjadikan anak bangsa mengelola Sumber Daya Alam dan budaya guna meningkatkan taraf hidup.
B. Penggabungan mata pelajaran SD
Salah satu yang “menarik” dari kurikulum 2013 ini adalah penggabungan mata pelajaran seperti IPA-IPS di tingkat SD. Bagaimana mungkin jika rencana pemerintah untuk menggunakan pendekatan sains dalam proses pembelajaran tetapi pada saat bersamaan menghilangkan (atau) menggbaungkan pelajaran sains dengan bahasa Indonesia. Belum lagi ide tentang menggunakan IPA dan IPS sebagai materi pembahasan pada semua mata pelajaran. Ini akan berakibat dengan menumpuknya materi IPA dan IPS pada bahasa Indonesia. Jika diawal dinyatakan bahwa ini dilakukan karena beban materi yang sangat banyak (berimbas dengan buku paket dan LKS yang banyak) seperti di IPA, Sains dll hal ini bisa disiasati dengan mengurangi bahan materi dan mengubah pola pembelajaran. sebagai contoh: jika pembahasan matematika SD kelas 5 semester 1 terdapat 7 KD maka agar tidak merasa berat maka seharusnya dikurangi.
Kemudian dengan banyaknya buku paket dan LKS yang harus dibawa murid, seharusnya pemerintah bisa meniru pemerintah India yang kini sedang menerapkan penggunaan tablet digital murah sehingga siswa cukup membawa tablet berisi puluhan bahkan ratusan ebook dan buku tulis pelajaran, sehingga dapat mengurangi bobot siswa setiap kesekolah.
C. Penambahan Jam Pelajaran
Selain penggabungan matapelajaran pemerintah juga berencana menambah jam pembelajaran, menurut penelitian OECD. Table D1.1. See Annex 3 for notes (www.oecd.org/edu/eag2012). Bahwa Indonesia berada dibawah rata-rata negara lain dengan yang sekolah yang cukup jam belajar dimana Cuba dan australia menjadi no 1 dan 2 negara dengan terlama jam belajar. Tetapi jika kita kritisi tabel tersebut bisa kita lihat bahwa Jepang juga berada dibawah rata-rata. Pertanyaanya kenapa walaupun Jepang dibawah rata-rata normal tetapi mereka bisa begitu baik dalam dunia pendidikan? jawabannya karena pemerintah dan elemen pendidikan di Jepang diberlakukan cukup baik sehingga tidak perlu ada penambahan jam seperti yang terjadi di Cuba dan australia. Sedangkan di Indonesia carut marut pengelolaan pendidikan ada dimana-mana.
D. Guru-guru Indonesia yang “mengkhawatirkan”
Saya tidak mengatakan bahwa semua guru Indonesia berkwalitas rendah , walaupun hasil UKG yang lebih bersifat teoritis gagal diselesaikan (tidak tuntas) dengan baik oleh mayoritas guru Indonesia tetapi ini menjadi isu tersendiri. Dimana nantinya pelaksana kurikulum ini bukanlah pak menteri atau kepala dinas pendidikan daerah, tetapi tulang punggung kurikulum 2013 siapa lagi kalau bukan para guru-guru Indonesia. Ibarat motor sport tetapi jika pengendaranya adalah bukan pembalap ahli , maka motor tersebut akan dikendarai sangat pelan seperti naik motor tua, alon-alon dan tidak pernah menginjak gigi 5.
Belum lagi pemerasan dana pendidikan yang kadang-kadang “disedot” sana-sini baik oleh kepala sekolah sendiri dan para dinas atau UPTD yang berhasil mencairkan dana BOS/SBB untuk sekolah tertentu. akhirnya guru hanya menjadi para pekerja kasar untuk melaksakan hajat besar pemerintah ini. Jika kurikulum gagal maka pemerintah akan sekali lagi menyalahkan (mengkambing hitamkan) para “oemar bakrie” yang katanya tidak mampu mentransformasikan kehendak yang sudah digariskan oleh pemerintah. Ironis memang, guru seperti “potter” di stasiun. “cuci tangan” pemerintah telah berhasil dalam hal ini.
Belum lagi jika ada guru yang mecoba untuk meningkatkan pendidikannya, seperti program bea siswa S1 PNS, program ini pun “dimakan” oleh oknum diknas daerah dengan biaya 50% – 50% (maksudnya 50% uang dari buat guru dan 50% uangya di makan oleh oknum yang berhasil menggolkan program bea siswanya).
E. Proses Rekruitmen Guru
Wajar jika sekolah RSBI MH Thamrin mengajak lembaga pendidikan Yohannes Suryo untuk membantu memperbaiki kualitas pendidikannya, walaupun MH Thamrin diharuskan membayar milyaran rupiah tiap tahunnya. kenapa? ya karena guru-guru yang ada tidak memenuhi dan kurang memenuhi tuntutan kualitas pendidikan yang ada. resikonya jelas, kenaikan biaya pendidikan walaupun berstatus NEGERI !
Ironis lagi dengan sekolah negeri dipedalaman dan daerah dimana proses rekruitmen guru Honor kadang tidak mempertimbangkan kualitas individual. konon profesi guru menjadi profesi alternatif pilihan “daripada”. ya maksudnya daripada nganggur atau yang lainnya. maka jangan heran jika masih banyak guru SD belum S1 atau masih status SMA.
Tidak hanya sekolah negeri banyak juga swasta yang kadang melakukan proses rekruitmen dengan standar rendah. dimana kadang terjadi miss oriented dalam mata pelajaran tertentu. guru S1 bahasa Inggris harus mengajar matematika, S1 Matematika mengajar bahasa Arab, S1 Agama mengajar PKN. Fenomena ini ibarat gunung es yang jika dikaji lebih lanjut maka semua mata akan terbelalak.
F. Pro-Kontra Kurikulum 2013
Langkah dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengubah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) semakin mantap saja. Hasil studi yang dilakukan oleh lembaga survei pendidikan internasional (TIMSS dan PIRLS) pada 2011 tidak menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan pada kemampuan siswa Indonesia.
Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menjelaskan bahwa hasil yang diperoleh dari studi TIMSS pada tahun 2007 dan 2011 menunjukkan kemampuan siswa tidak mengalami peningkatan. Kebanyakan siswa hanya bisa menyelesaikan soal ke tingkat menengah saja sehingga disinyalir terdapat perbedaan pada bahan ajar di Indonesia dengan materi yang diujikan pada tingkat internasional. “Kemampuan matematikanya tidak beranjak dari 2007 hingga 2011. Begitu juga dengan kemampuan sainsnya,” kata Nuh.
Ia menambahkan, “Kami melihat ada ketidaksesuaian antara kompetensi dasar KTSP dengan materi TIMSS terutama matematika.” Banyak yang beranggapan bahwa kurikulum yang baru pada 2013 untuk menggantikan KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tidak akan membawa banyak perubahan. Konsep yang baru dari kurikulum 2013 dinilai sudah pernah ada pada kurikulum yang dahulu pernah digunakan.
Menurut Ferdiansyah selaku Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Golkar, sebenarnya konsep pembelajaran yang melibatkan anak atau siswa untuk aktif pada kegiatan belajar mengajar sudah pernah diterapkan pada kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). “Itu sebenarnya kan sudah pernah ada dalam kurikulum 1975 kalau tidak salah. Namanya CBSA, saya kan hasil dari CBSA itu,” jelas Ferdiansyah. Pendapat dari Jonner Sipangkar selaku Sekretaris Jenderal National Education Watch, juga mengatakan hal yang sama bahwa konsep yang ada pada kurikulum 2013 tidak ada yang baru. Gagasan yang dilakukan oleh kementrian Pendidikan dan Kebudayaan hanya mengulang dari kurikulum yang sudah pernah digunakan. Joner mengatakan, “tidak ada yang baru sebenarnya. Itu kan sama seperti CBSA, mendorong siswa untuk aktif. Lalu apa yang baru? Ini ganti nama saja artinya.”
Menurutnya, alasan yang coba dijelaskan oleh kementrian tidak mempunyai landasan yang kuat, malah terkesan seperti opini. “Memang pemerintah memberi alasan, tapi itu seperti hanya bohong-bohongan saja karena wujudnya opini. Tak ada hasil riset kenapa kurikulum harus diubah,” jelasnya.
G. Catatan Jurnalis tentang Pro kontra Kurikulum 2013
Perubahan kurikulum 2013 yang rencananya akan menggabungkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada Sekolah Dasar memang masih dimatangkan dan digodok tim ahli perumus perubahan kurikulum tahun 2013.
Namun pro dan kontra terkait dengan integrasi mata pelajaran IPA dan IPS untuk Sekolah Dasar (SD) mulai bermunculan. Seperti yang diukapkan beberapa Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di wilayah Kabupaten Bandung. Ketua PGRI Cimenyan, Cucu Supriadi, menentang keras rencana tersebut meskipun penggabungan IPA dan IPS untuk meringkas mata pelajaran menjadi pengetahuan umum. "Apa pun alasannya saya tidak setuju. Itu negatif buat siswa terutama untuk tingkat sekolah dasar," kata Cucu kepada wartawan melalui ponselnya, Selasa (23/10).Cucu mengatakan, akan banyak dampak negatif jika memang rencana tersebut terwujud. Ia mencontohkan, hilangnya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) membuat siswa tak lagi memiliki akhlak yang baik. "Itu alasannya banyak tawuran. Bahkan mulai anak SMP sudah mengenal seks," ujarnya. Selain itu, kata Cucu, murid SD tidak memiliki banyak pengetahuan yang banyak jika memang IPA dan IPS hilang. "Masa murid SD dijejelin matematika saja. Mau jadi apa bangsa ini sudah banyak korupsi merajalela," ujarnya.
Cucu mengatakan, kementerian pendidikan nasional (Kemendiknas) seharusnya melihat kenyataan di lapangan, bukan hanya mengkaji saja. Cucu menilai banyak dampak yang akan terjadi jika ada mata pelajaran yang diintegrasikan atau pun dihilangkan. "Rugilah anak-anak SD sekarang. Kalau begitu ganti saja Menterinya yang hanya bisa duduk di atas kursi saja," kata Cucu dengan tegas. Sedangkan dampak bagi guru yang mengajar IPA dan IPS, Cucu tidak mempersoalkannya. Ia hanya memperhatikan dampak bagi murid SD di mana menjadi titik awal belajar dan mencari ilmu. "Kalau guru kan bisa dimutasi. Tapi yang jelas semua dilihat dampak bagi murid bukan karena alasan pemerataan guru ke daerah-daerah yang kekurangan," katanya. Hal berbeda dikatakan Ketua PGRI Cileunyi, Ependi, ketika dihubungi awak media melalui ponselnya, Selasa (23/10). Ia mendukung rencana tersebut, asalkan perubahan kurikulum tersebut jelas dan diseusiakan materi penambahan mata pelajaran yang disesuaikan dengan globalisasi. "Kalau menurut saya bukan perubahan barangkali, tapi revisi yang mengarah peningkatan mutu anak. kalau untuk itu saya setuju," ujarnya.
Ependi mengaku tak setuju apabila ada penambahan jam belajar untuk murid tingkat SD. Sebab ia menilai murid SD sudah merasa kewalahan dengan 10 mata pelajaran yang sudah ada. "Kalau ditambah pastinya murid akan kalang kabut dan akan memberatkan bagi murid," ujarnya. Meski setuju, Ependi meminta rencana tersebut juga memikirkan nasib guru IPA dan IPS di tingkat SD jika memang teralisasi. Itu sebabnya rencana tersebut jangan lansung diketok palu jika belum memiliki solusi yang tepat lantaran jumlah guru di SD berlebih. "Kalau memang ada pengalihan mata pelajaran, gurunya juga harus jelas dialihkan ke mana," ujarnya.
Ketua PGRI Rancaekek, Yayat, mengatakan hal yang sama ketika ditemui wartawan di ruang kerjanya, Selasa (23/10). Selama itu program pemerintah dan meningkatkan kualitas pendidikan, Yayat sangat setuju. Yayat pun tak merasa khawatir terhadap nasib guru SD yang mengajar IPa dan IPS. Menurutnya, semua guru di SD tak memiliki fokus dalam satu mata pelajaran. Karena itu ia yakin guru yang tadinya mengajar IPA dan IPS bisa dialihkan ke mata pelajaran lain atau mata pelajaran pengganti IPA dan IPS. "KEcuali guru olah raga dan agama. Itu baru tidak bisa diganti," katanya. Sementara itu, Ketua PGRI Solokanjeruk, Rahamdan Hamdan Sopandi, tak mau berkomentar banyak terkait adanya rencana tersebut. Namun ia mengakui jika ada perubahan pasti ada dampak baik itu negatif maupun positif. "Sulit juga mengatakannya. Tapi sebaiknya rencana itu juga melihat damak bagi murid pada khususnya," kata pria yang akrab disapa Apih ketika dihubungi awak media melalui ponselnya, Selasa (23/10), Apih menilai, perubahan kurikulum itu sebetulnya mencari sesuatu yang pas untuk meningkatkan kualitas. Karena itu, kata Apih, Kemendiknas tak mungkin sembarangan dalam melakukan perencanaan. "Dampaknya memang belum tahu. Tapi yang jelas kami (guru-guru) menginginkan yang terbaik bagi murid dan pendidikan di Indonesia," kata Apih.(Dent/Uci)
H. Bagian akhir
Saya sepakat dengan usul yang lebih penting ketimbang membuat kurikulum baru yaitu pertama adalah membenahi guru , rekruitmen guru yang integritas dan memperbaiki sistem pendidikan didaerah baru selanjutnya silakan utak atik dan fokus ke kurikulum. Sebagus apapun kurikulumnya jika kemampuan guru sangat memprihatikan maka ini semua hanya menjadi ilusi dialektika semata
No comments:
Post a Comment