Sejak gerakan pendidikan inklusif dimulai pada 2012, terlihat peningkatan jumlah peserta didik yang luar biasa. Rata-rata ada 10 ribu siswa setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa gerakan pendidikan inklusif mampu meningkatkan penyediaan kesempatan dan akses bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk mendapatkan hak pendidikannya.
Tidak hanya itu, pendidikan inklusif juga menjadi sarana yang sangat efektif dalam penanaman pendidikan karakter. “Bercampurnya anak dengan berbagai latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan karakteristik dalam lingkungan sekolah inklusif, akan menumbuhkan semangat untuk peduli, kerja sama, menghargai perbedaan dan saling menghormati,” ungkap Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Hamid Muhammad, di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat (19/9/2014).
Bahkan, katanya, melalui pendidikan inklusif, para guru dan kepala sekolah akan senantiasa kreatif dan berinovasi tinggi untuk bisa melayani dan menyelenggarakan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik yang beragam tersebut. Namun, walaupun akses dan kesempatan untuk memperoleh hak pendidikan bagi ABK ini menunjukkan peningkatan yang sangat baik, tetapi angka partisipasi murni (APM) untuk jenis pendidikan ini masih rendah, hanya sekitar 34 persen. “Ini memerlukan upaya kita semua, bagaimana caranya agar semua ABK mendapatkan hak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu dan setara,” ujar Hamid.
Pencanangan Sultra sebagai provinsi pendidikan inklusif disambut baik oleh Kemdikbud. Sultra menjadi provinsi ke-7 yang mendeklarasikan diri sebagai daerah yang ramah bagi peserta didik penyandang disabilitas. Sebelumnya telah ada Kalimantan Selatan, Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat. “Saya melihat program ini mampu menjangkau simpul-simpul ABK yang sulit dijangkau dengan layanan pendidikan regular. Deklarasi yang dilakukan Sultra menjadi bukti bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur provinsi ini adalah pelopor pendidikan inklusif di Indonesia,” tambahnya.
Hamid menuturkan, pendidikan inklusif tidak semata dilakukan oleh pemerintah daerah, tetapi saat ini sudah merambah ke dunia perguruan tinggi. Universitas Brawijaya, Institut Teknologi Bandung, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) adalah contoh perguruan tinggi yang memberikan tempat bagi ABK untuk menempuh pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi. “Universitas Brawijaya sudah tiga tahun ini berani mengambil keputusan besar dengan menerima ABK menjadi mahasiswanya dengan sistem seleksi khusus,” tutur Hamid.
Ia menambahkan, tahun ini universitas yang berlokasi di Kota Malang, Jawa Timur itu menerima 23 ABK. Tidak hanya menyediakan kursi bagi ABK, Universitas Brawijaya dan Unesa menyediakan relawan pendamping khusus yang direkrut dari mahasiswa regular. Dengan pendekatan ini, prestasi akademik mahasiswa berkebutuhan khusus mampu bersaing dengan mahasiswa lainnya. “Saya ingin katakan kepada ABK se-Indonesia, belajarlah dengan tekun dan gapai mimpi-mimpi kalian untuk bisa belajar hingga ke jenjang tertinggi di perguruan tinggi,” ucapnya.
Hamid menyadari, program pendidikan inklusif bukan berarti berjalan tanpa tantangan. Masih ada sejumlah kendala yang harus dihadapi, antara lain masalah minimnya sarana dan prasarana yang tepat untuk ABK, keterbatasan jumlah dan kompetensi guru regular yang melayani peserta didik ini. “Permasalahan ini tidak bisa ditangani secara parsial, tetapi harus ada dukungan dari semua pihak, mulai dari pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, serta satuan pendidikan di level paling bawah. Untuk itu saya mengajak untuk bersama-sama mewujudkan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh anak bangsa
No comments:
Post a Comment